14 Jenis Muamalah, Contoh dan Dalilnya

        
     

Islam telah mengatur segala aspek kehidupan manusia dengan sempurna, salah satunya tentang muamalah. Pada pembahasan kali ini saya akan menyampaikan jenis-jenis muamalah, contoh beserta dalilnya. Pembahasan yang saya buat ini sebagai tugas mata kuliah Pendidikan Agama di BSI Semester 2. Semoga bermanfaat..

   1. SALAM

Salam (salaf) adalah jual beli barang yang ditunda dan masih dalam tanggungan dengan bayaran yang didahulukan, sedangkan barangnya masih ghaib (belum ada) sehingga disebut juga sebagai bai’ul mahaawij. Pembeli disebut musallim, penjual disebut musallam ilaih, barang yang dijual disebut musallam fiih, sedangkan uangnya disebut ra’su maalis salam.


Jual beli ini diperbolehkan dan sesuai syari’at. Sebagaimana boleh ditunda pembayaran dalam jual beli, maka boleh juga ditunda barangnya dalam salam ini. Dalam salam harus ditentukan waktu barang diberikan namun tidak disyari’atkan barang yang disalam sudah dimiliki oleh penjual. Hikmah dari salam ini adalah melapangkan dan memberi kemudahan kepada manusia.

Contoh Salam :
Seseorang yang membeli buah duku kepad petani. Orang tersebut membayar terlebih dahulu kepada petani untuk keperluan perawatan, dll. Lalu pembeli akan mendapatkan buah duku itu setelah petani panen, sesuai jumlah yang telah ditentukan.

Dalil tentang Salam :
QS Al-Baqarah:282
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. “

Hadist oleh Abdullah bin Abbas
“Saya bersaksi bahwa jual-beli as salaf yang terjamin hingga tempo yang ditentukan, telah dihalalkan dan diizinkan oleh Allah dalam Al-Qur’an”. Lalu beliau membacakan surat Al-Baqarah ayat 282 tersebut.


2.      MUSAQOH

Al musaqoh berasal dari kata as saqa. Diberi nama ini karena pepohonan penduduk Hijaz amat membutuhkan saqi (penyiraman) dari sumur-sumur, sehingga diberi nama musaqah (penyiraman/pengairan). Musaqah adalah penyerahan pohon tertentu kepada orang yang menyiramnya dan menjanjikannya, bila sampai buah pohon matang dia akan diberi imbalan buah dalam jumlah tertentu.

Biaya dalam perawatan dibagi dua, sedangkan hasilnya dibagi berdasarkan kesepakatan atau  ditambahkan pada saat panen. Masa kerja pekerja juga harus ditentukan pada saat akad. Musaqoh ini memberikan manfaat diantaranya menciptakan hubungan saling memberi manfaat dan menghilangkan kemiskinan.

Contoh Musaqoh :
Seorang pemilik tanah menyerahkan pohon baik yang sudah ditanam atau belum dengan sebidah tanah tertentu kepada seorang yang akan menanam, merawat, menyiram dan sebagainya hingga pohon itu berbuah. Lalu pekerja itu akan mendapatkan bagian yang telah disepakati dari buah yang dihasilkan, sedangkan sisanya adalah untuk pemilik tanah.

Dalil tentang Musaqoh :
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu : “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh penduduk Khaibar untuk menggarap lahan di Khaibar dengan imbalan separuh dari tanaman atau buah-buahan hasil garapan lahan tersebut”. (HR Bukhari dan Muslim)


3.      MUZARO’AH

Menurut bahasa al-muzara’ah memiliki dua arti : tharh al-zur’ah atau melemparkan tanaman (makna majas) dan al-hadzar atau modal (makna hakiki). Muzaro’ah ialah mengerjakan tanah orang lain seperti sawah atau ladang, dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga, seperempat), sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung oleh pemilik tanah. Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri bahwa muzara’ah adalah pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik tanah.

Muzara’ah sempat dilarang pada zaman Rasulullah karena sering kali terjadi pihak yang dirugikan. Hal ini terjadi karena bagian panen disyaratkan berdasarkan luas tanahnya.

Contoh Muzaro’ah :
Seorang PNS memiliki sebidang tanah yang tidak digunakan. Lalu ia menyerahkan tanah  tersebut beserta modal pengolahan kepada seseorang. Hasil akan dibagi 1/3 untuk penggarap dari total hasil panen.

Dalil tentang Muzaro’ah :
Dari Abu Hurairah ra, berkata : “Bersabda Rasulullah S.A.W , barang siapa  yang memiliki tanah maka hendaklah ditanami atau diberikan faedahnya kepada saudaranya jika ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu.” (HR Muslim)
“Barang siapa  yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah menyuruh  saudaranya untuk menanaminya.” (HR Bukhari)


4.      MUKHOBAROH

Mukhobaroh ialah mengerjakan tanah orang lain seperti sawah atau ladang, dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga, seperempat), sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung oleh orang yang mengerjakannya. Baik Muzara’ah maupun mukhobaroh menguntungkan kedua belah pihak karena pemilik tanah lahannya dapat digarap, sedangkan petani dapat meningkatkan taraf hidupnya.

Contoh Mukhobaroh :
Seseorang yang memiliki tanah yang tidak digarap menyerahkan tanah tersebut kepada saudaranya yang tidak bekerja. Saudaranya itu menyiapkan sendiri segala keperluan untuk mengolah tanah. Pada masa panen hasilnya dibagi sesuai perjanjian.

Dalil tentang Mukhobaroh :
QS Al-Muzammil : 20
“ .... dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah “
Pada intinya Muzara’ah maupun Mukhobaroh memiliki dasar hukum yang sama. Perbedaanya hanya pada siapa yang menyiapkan modal. Pada Surat Al-Muzammil tersebut diketahui bahwa Allah memberikan kebebasan dan keleluasan kepada siapa saja untuk mencari rahmat-Nya di bumi ini agar bisa tetap bertahan hidup.


5.      JI’ALAH

Ji’alah dalam kehidupan sehari-hari diartikan oleh fukaha yaitu membei upah kepada orang lain yang dapat menemukan barangnya yang hilang atau mengobati orang yang sakit atau menggali sumur sampai memancarkan air, atau seseorang yang menang dalam sebuah kompetisi. Ada dua orang yang berakad dalam ji’alah : Ja’il yaitu orang yang mengadakan sayembara (disyaratkan baligh, berakal, cerdas) dan ‘Amil yaitu orang yang melakukan sayembara (tidak disyaratkan)

Contoh Ji’alah :
Seorang pengusaha kehilangan koper yang berisi berkas penting ketika ia berada di stasiun kereta. Kemungkinan ia kelupaan menaruh koper karena terburu-buru. Kemudia ia mengumumkan siapa saja yang menemukan koper tersebut akan diberikan hadiah tertentu.

Dalil tentang Ji’alah :
QS Yusuf ayat 72
“Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".
HR Bukhari : “Sabda Nabi SAW kepada para sahabat yang mendapatkan jialah berupa sekawanan kambing karena mengobati orang yang tersengat, “Ambilah ju’alah (upah) dan berikan aku satu bagian bersama kalian”.


6.      UTANG PIUTANG

Di dalam fiqih Islam, utang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Utang piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Hukum utang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan memberikan pinjaman kepada yang membutuhkan sangat dianjurkan karena didalamnya terdapat pahala yang besar. Meskipun diperbolehkan berhutang, Islam menganjurkan umatnya untuk menghindari utang semaksimal mungkin jika mampu untuk membeli secara tunai.

Contoh Utang Piutang :
A sangat membutuhkan uang untuk biaya rumah sakit ibunya. Kebetulan B memiliki uang yang tidak sedang digunakan sebesar Rp 2.000.000,-. Maka A meminjam uang tersebut dan akan mengembalikan dengan jumlah yang sama satu bulan kemudian sesuai perjanjian.

Dalil tentang Utang Piutang :
QS Al-Baqarah : 245
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”
Dari dalil diatas jelas bahwa Allah menganjurkan manusia untuk menafkahkan rezekinya dalam bentuk pijaman untuk keperluan yang baik. Allah-pun berjanji akan melipatgandakan rezeki jika manusia secara ikhlas mau tolong menolong.


7.      WADI’AH

Dalam bidah ekonomi syari’ah, Wadiah adalah titipan nasabah yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat nasabah yang bersangkutan menghendaki. Kata wadi’ah berasal dari wada’asy syai-a, yaitu meninggalkan sesuatu. Sesuatu yang seseorang tinggalkan pada orang lain agar dijaga disebut wadi’ah, karena ia meninggalkannya kepada seseorang yang sanggup menjaga.

Dalam Wadi’ah ada rukun-rukunnya : Muwaddi’ atau orang yang menitipkan barang, Wadii’ atau orang yang dititipi barang, Wadi’ah atau barang yang dititipkan, dan Shighot atau ijab dan qobul. Apabila Wadii’  meminta suatu biaya maka akadnya berubah menjadi akad sewa atau ijaroh.

Contoh Wadi’ah :
A menitipkan motornya di rumah B karena ia harus pergi ke suatu tempat dengan berjalan kaki dan tidak mungkin dapat menggunakan motornya. B diperkenankan oleh A untuk menggunakan motor itu apabila B memerlukan. Namun pada saat A mengambil motornya, motor itu haruslah utuh dan diberikan pada saat A mengambilnya.

Dalil tentang Wadi’ah :
QS An-Nisaa : 58
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya”
QS Al-Baqarah : 283
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”
HR Abu Dawud dan Timidzi
“Tunaikanlah amanah yang dipercayakan kepadamu dan janganlah kamu mengkhianati terhadap orang yang telah mengkhianatimu”


8.      LAQITHOH

Laqithoh adalah seorang anak manusia yang ditemukan dan tidak diketahui nasabnya. Hukumnya wajib bagi siapa saja untuk memungutnya, hal ini karena tolong menolong dalam kebajikan dan menyelamatnya jiwa manusia adalah wajib, sedangkan menelantarkannya adalah dosa dan pelanggaran.

Anak manusia yang ditemukan dan tidak diketahui nasabnya maka dianggap muslim jika ditemukan di tempat yang mayoritas penduduknya adalah muslimin, serta dianggap merdeka (bukan budak). Nafkah anak tersebut diambil dari harta yang ada pada diri anak tersebut, atau ditanggung baitul mal, atau ditanggung kaum muslimin secara gotong royong.

Contoh Laqithoh :
Seorang anak ditemukan berada di pasar. Dimungkinkan anak tersebut sengaja ditinggal orang tua atau walinya di pasar tersebut. Maka anak tersebut wajib untuk dipungut oleh siapapun dengan nafkahnya berasal dari baitul mal.

Dalil tentang Laqithoh :
QS Al-Maidah : 2
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”


9.      LOQOTHOH

Luqothoh artinya suatu benda yang ditemukan dan tidak diketahui pemiliknya dikhawatirkan rusak atau musnah jika tidak dipungut. Secara umum hukum memungut barang temuan hukumnya halal/boleh, kecuali barang-barang khusus yang dilarang memungutnya (seperti binatang onta).  Walaupun hukumnya boleh, luqothoh akan menjadi haram apabila yang memungut barang tersebut mengetahui bahwa dirinya tidak memiliki sifat amanah yang mana jika ia memungutnya ia akan berkhianat, menyembunyikannya atau dia tidak mampu mengumumkannya.

Macam-macam Luqothoh :
      1.      Luqothoh berupa barang yang tidak berharga (sebutir kurma, secarik kain, pena, sepotong kue, dll) maka boleh bagi siapapun untuk memungutnya dan memanfaatkannya secara langsung     
      2.      Luqothoh berupa sesuatu yang berharga (emas, perak, uang, dll) maka wajib bagi yang memungutnya untuk mengumumkan selama satu tahun penuh. Jika pemiliknya datang maka barang tersebut harus diserahkan, namun jika setelah satu tahun pemiliknya tidak datang maka barang tersebut dapat dimanfaatkan.
      3.      Luqothoh berupa kambing dan semisalnya maka boleh dipungut dan dimanfaatkan secara langsung
      4.      Luqothoh berupa onta, sapi, kijang, kuda, burung yang halal maka haram memungutnya karena binatang-binatang tersebut dapat hidup tanpa dipelihara dan bisa melindungi dirinya dari binatang buas
      5.      Luqothoh tanah haram/suci maka hukum memungutnya adalah haram.
      6.      Luqothoh berupa anak manusia hukumnya wajib untuk memungutnya, disebut juga Laqithoh

Contoh Luqothoh :
Seorang tukang becak menemukan sebuah dompet di dekat ia memarkirkan becaknya. Sayangnya di dompet itu tidak ada identitas siapa pemiliknya. Padahal dalam dompet itu berisi uang tunai dan beberapa cincin emas. Khawatir dompet itu ditemukan oleh orang yang tidak amanah maka tukang becak itu memungutnya dan menyimpannya hingga pemiliknya mencarinya.

Dalil tentang Luqothoh :
Dari Zaid bin Kholid al-Juhani : “Datang seseorang bertanya kepada Rasulullah tentang hukum luqothoh, lalu beliau menjawab, “Kenalilah wadah/tutupnya, dan pengikatnya, lalu umumkan satu tahun, jika datang pemiliknya maka serahkan, tetapi jka tidak terserah engkau dengan barang itu”. Lalu dia bertanya, “bagaimana dengan barang temuan berupa kambing?”, beliau menjawab “Kambing untukmu, atau untuk saudaramu, atau untuk serigala/anjing.””


10.  QIROD

Qirod adalah kerja sama dalam bentuk pinjaman modal tanpa bunga dengan perjanjian bagi hasil. Biasanya qirad dilakukan oleh pemilik modal (baik perorangan maupun lembaga) dengan orang lain yang memiliki kemampuan dan kemauan untuk menjalankan suatu usaha. Besarnya hasil yang dibagi tergantung kesepakatan, yang terpenting tidak merugikan salah satu pihak.

Hukum qirod adalah mubah, karena Rasulullah sendiri pernah mengadakan qirod dengan Siti Khadijah sebelum mereka menikah. Namun meski demikian qirod akan menjadi haram apabila diketahui usaha yang akan dijalankan bukan berada di jalan Allah. Sedangkan pahala Qirad adalah 18 kali lipat, lebih utama dari sedekah yang pahalanya 10 kali lipat.

Contoh Qirod :
Bu Marni memiliki usaha warung ayam goreng. Ia ingin meningkatkan usahanya namun terbatas pada modal. Lalu ia meminjam uang di KMKP (Kredit Modal Karya Permanen).

Dalil tentang Qirod :
QS Al-Hadiid : 11
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak”
HR. Ibnu Majah
Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi SAW berkata, “Bukan seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah (senilai) sedekah.”


11.  SERIKAT ‘INAN

Serikat ‘inan (syirkah inan) adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mal). Hukum serikat ini adalah boleh. Dalam syirkah ini disyaratkan modalnya berupa uang, apabila barang tidak boleh dijadikan modal kecuali dihitung nilainya pada saat akad. Keuntungannya didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugiannya tergantung porsi modalnya masing-masing pihak.

Contoh Serikat ‘Inan :
A dan B insinyur teknik sipil. Mereka sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjual rumah. Keduanya memberikan konstribusi modal sebesar masing-masing 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.

Dalil tentang Syirkah ‘Anin :
HR. Abu Dawud, al-Baihaqi dan ad-Daruquthni
Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman : “Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang bersyirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya”


12.  HIWALAH

Pengertian hiwalah dari segi etimologi berarti al-itiqol dan at-tahwil yang berarti memidahkan dan mengoper. Sedangkah secara terminologi, hawalah adalah pemindahan kewajiban membayar hutang dari orang yang berhutang (al-muhil) kepada orang yang berhutang lainnya (al-muhal’alaih).
Ijab hiwalah diucapkan oleh Muhil sedangkan qabulnya diucapkan oleh muhal dan muhal ‘alaih. Dengan adanya hiwalah diharapkan utang piutang dapat diselesaikan dengan cepat dan saling tolong menolong antara orang yang membutuhkan.

Contoh Hiwalah :
A (muhal) memberi pinjaman kepada B (muhil), sedangkah B masih memiliki piutang pada C (muhal’alaih). Ketika B tidak mampu membayar utangnya kepada A, ia lalu mengalihkan utang tersebut kepada C. Dengan demikian C yang harus membayar hutang kepada A, sedangnya utang C kepada B dianggap selesai.

Dalil tentang Hiwalah :
HR. Ahmad dan Abi Syaibah
“Rasulullah SAW bersabda, “Menunda-nunda pembayaran hutang dari orang yang mampu membayarnya adalah perbuatan zalim. Dan apabila salah seorang dari kamu dipindahkan penagihannya kepada orang lain yang mampu, hendaklah ia menerima””
QS Al-Maidah : 2
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”


13.  JAMINAN

Secara syar’i ar-rahn / agunan / jaminan adalah harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya, jika ia gagal (berhalangan) menunaikannya. Hukum ar-rahn diperbolehkan baik dalam keadaan safar maupun bermukim.

Dalam ar-rahn terdapat rukun-rukun yang harus dipenuhi :
      1.      Shighat (ijab dan qabul)
      2.      Al-‘aqidan, terdiri dari ar-rahin (pihak yang mengagunkan) dan al-murtahin (pihak yang menerima agunan)
      3.      Al-ma’qud ‘alaih, yaitu al-marhun (barang yang diagunkan) dan al-marhun bih (utang)
      4.      Qabdh atau serah terima

Contoh Jaminan :
Seorang supir angkot memijam uang kepada lembaga peminjaman uang sebesar Rp 2.000.000,- untuk memperbaiki kendaraannya yang rusak. Sebagai jaminan ia menyerahkan sebuah set perhiasan emas milik istrinya. Uang tersebut harus dikembalikan dalam jangka waktu 1 tahun, jika tidak juga dilunasi maka agunan tersebut akan menjadi milik lembaga peminjaman uang tersebut.

Dalil tentang Ar-rahn :
QS Al-Baqarah : 283
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”
HR Bukhari dan Muslim
Aisyah ra. Menuturkan : “Rasulullah S.A.W pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau mengagunkan baju besinya.”


14.  ‘ARIYAH

Kata ‘ariyah secara bahasa berarti pinjaman. Istilah ‘ariyah merupakan nama atas sesuatu yang dipinjamkan. Sedangkan menurut terminologi, pengertian ‘ariyah adalah “kebolehan memanfaatkan benda yang sifatnya temporer (sementara waktu) tanpa memberikan suatu imbalan.”
‘ariyah atau i’arah merupakan perbuatan qurban (pendekatan diri kepada Allah) dan dianjurkan berdasarkan Al-Qur’an dan sunah. Menurut Sayyid Sabiq, ‘ariyah adalah sunnah, sedangkan menurut al-Ruyani ‘ariyah hukumnya wajib.

Contoh ‘Ariyah :
Sanah akan membuat roti untuk acara syukuran di rumahnya. Namun pada saat itu ovennya rusak sehingga ia harus meminjam oven milik tetangganya hingga roti-roti itu selesai dibuat.

Dalil tentang ‘Ariyah :
QS Al-Maidah : 2
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
HR. Abu Daud

“Barang peminjaman adalah benda yang wajib dikembalikan.”

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Latihan Soal E-Commerce BSI Pertemuan 1-6