Cerpen-Jatayu (Aku Mau Jadi Garuda)



Dia tidak pernah diam. Kepalanya menggeleng ke kiri atau ke kanan sambil matanya melirik, atau tiba-tiba dianggukkan kepala itu seperti gerak yang sungguh-sungguh dan diiringin senyum atau kecerahan pandang yang mesra dan lembut. Sangat lembut hingga orang meragukan adakah ia betul-betul sudah tidak lagi dihuni jiwa yang sempurna.


Orang-orang sekampung tahu bahwa ia anak dalang di ujung kampung itu. Tumbuh besar di rumah yang penuh gambar dan bentuk wayang atau senafas dengan kebudayaan Jawa itu.

Sewaktu ia lahir masih ada gamelan seperangkat di rumah itu. Dan kelahiran dia yang diharapkan bapaknya adalah kelahiran yang sangat bahagia bagi keluarga. Bapaknya ingin anaknya yang lahir itu perempuan. Dan benarlah! Rupa-rupanya dewa-dewa wayang juga ikut mendengarkan permintaan dalang itu dari dalam petinya. Anaknya lahir perempuan menjadi adik dari anak sulung laki-laki. Tapi alangkah jauh beda umur antara kedua anak itu. Dan dia, anak perempuan idaman bapaknya mendapat nama Prita, nama yang sangat dipenuhi harap oleh orang tua itu untuk menjadi manusia yang baik, seperti Prita ibu Pandawa dalam cerita wayang. Tapi nama itu terlalu tak terdukung oleh gadis itu, kata orang-orang sekampung. Karena setelah menjelang umur enam belas tahun Prita sakit keras. Sakit malaria tropika yang menggerak otak dan urat syarafnya. Dewa-dewa wayang marah kepada gadis itu karena memakai nama yang begitu agung, desas-desus semacam itu lepas mengedari kampung. Dan Prita tetap memakai nama Prita. Bapaknya tak hendak mengubah nama itu.

Prita dikeluarkan dari sekolah, dan waktu itu dia baru  kelas 2 SMP. Terlalu jauh pikirannya untuk mengikuti pelajaran-pelajaran di sekolah. Otaknya sudah digerogoti kuman-kuman penyakit. Kerjanya sejak itu tak lain cuma duduk bermain-main dengan wayang bapaknya, berdiri di depan pintu rumah dengan tersenyum-senyum, atau menunggui penjual rokok di ujung kampung sana agak ke samping dari rumahnya.

“Heh !” kadang-kadang dia membentak orang yang bersepeda yang melalui muka rumahnya. Sudah itu satu senyum memenuhi mukanya yang lembut itu. Dan orang akan segera memalingkan mukanya lagi untuk lekas-lekas pergi dari sana. Terlalu lembut wajah gadis itu, hingga sangat jauh hati orang hendak menggodanya.

Di rumah, Prita tak hendak diam menganggur. Dia mainkan wayang bapaknya dan yang paling dihafalnya ialah lakon-lakon Ramayana. Dan bagi hatinya yang mau lepas itu sangat eratnya raja garuda Jatayu, burung yang menunjukkan pada Rama ke mana Sinta dibawa raksasa. Dia mau lepas, terbang ke angkasa seperti burung. Cita semula yang dikandungnya ialah hendak menjadi penerbang. Dia mau terbang, meskipun dia seorang perempuan. Tapi dia tak boleh terus sekolah, dan dia tak jadi duduk di belakang kemudi pesawat terbang. Dulu sewaktu masih sekolah, dia tak jarang menirukan sikap orang yang sedang mengemudikan kapal terbang di dalam kelas, dia atas bangkunya tangan mengarah ke muka dengan suara dari mulutnya menderu. Kemudian sejenak kelas sepi, semua mata terpaku padanya. Mata yang menyinarkan rasa geli dan terharu. Ya. Prita gadis terbang yang lahir tiada berkat dari dewa-dewa, muka lembut membikin setiap orang yang memandangnya menjadi mesra terhadapnya.

Sehari-hari Prita duduk saja di atas peti wayang bapaknya ketika dia mendengar bahwa bapaknya hendak menjual wayang itu. Tapi kebutuhan yang mengejar manusia tak dapat dikalahkan oleh manusia yang tak berotak waras itu. Bapaknya merasa perlu menebus rumah yang didiaminya itu dari gadai setahun yang lalu, ketika kenduri kematian anak sulungnya hendak digenapkan seribu hari.

“Bapak jahat, Mak,” katanya kepada emaknya dengan muka muram.
“Bapak butuh uang, kelak kalau punya uang tentu beli lagi seperangkat yang lebih baik,” Emaknya menghibur, bapak tua yang berkuasa terhadap wayangnya yang dilakokannya itu merasa tak kuasa jika berhadapan dengan muka Prita, anak gadinya, anak satu-satunya bagi keluarga dalang itu sesudah kematian anak sulung.
“Aku tak akan lagi punya garuda yang menerbangkan aku,” dia mempertahankan Jatayunya, tokoh wayang pelaku dalam cerita Rama. Dan emaknya melirik kepada bapaknya.
“Semua terlalu jahat orang di rumah ini kepadaku. Aku tak boleh sekolah. Aku tak boleh jauh-jauh dari rumah. Sekarang garudaku hendak diminta pula.”
“Bapak carikan gantinya.”
“Apa?”
"Kakaktua.”
“Tak bisa terbang seperti garuda.”
“Tapi bisa bicara.”
Prita tertegun memandang bapaknya, dalang tua yang kuasa atas wayang-wayangnya.
“Dia akan menjadi teman yang baik tentu,” emaknya ikut menyela.
“Aku tak mau teman dia. Aku mau garuda yang bisa terbang,” Prita menjerit dan lari menangis di atas peti wayang. Kemudian membukanya dan mengeluarkan wayang satu-satu mencari Jatayu. Bentuk-bentuk yang terbuat dari kulit itu tersebar tak tentu di atas lantai. Dan pada waktu seperti itu tak ada yang menghargai dewa ataupun satria.

Akhirnya Jatayu pun tetap tergantung di rumah itu, di papan di atas arah kepala dari amben tidur Prita. Wayang lain sudah pindah ke pemilik lain. Bapaknya kalah oleh cinta dan sayangnya kepada Prita, dan pembeli wayang itu akan merasa kecewa karena satu pelaku tak hadir dalam petinya.
            
Tapi rasa sepi diri kadang-kadang tak terderitakan lagi oleh Prita. Pada injakan ke tingkat timur yang makin jauh, dia seperti juga manusia-manusia lain, merasakan kerinduan kasih seorang sahabat. Sayup agak kabur dia masih ingat wajah kakaknya. Saudara tunggalnya yang mati entah di mana kuburnya. Dia cuma ingat (dengan pikiran sadarnya) dulu kakaknya itu berpamitan kepada bapak dan emaknya dengan memakai capik, kaus, dan celana pendek dengan membawa pancing serta kepis tempat ikan. Dan dia merasakan sekali itu cium saudara tunggalnya di kedua pipinya. Dia rindu kakaknya mula-mula. Kemudian pada setiap pemuda yang lalu di muka rumahnya dia melemparkan senyumnya yang lembut itu, lebih lembut daripada yang dia berikan kepada bapak dan emaknya.
            
Ada seorang yang sangat memperhatikan dia. Dan Prita menjadi biasa dengan pandang pemuda itu, yang sering beli rokok di ujung kampung dekat rumah Prita. Dan dengan diam-diam Prita seringkali menantikan dia lewat di muka rumahnya.
            
Satu sore Prita keluar dari rumahnya dengan celana tiga perempat yang hijau. Dia jalan dengan gontai kemayu ke tempat penjual rokok. Dan dengan suara keras dia membentak orang yang sedang ada di sana. Orang itu segera menoleh, dan alangkah terkejutnya dia karena orang itu adalah pemuda yang telah begitu sering berpandangan dengan dia. Prita tersenyum dan mau terus pergi ke jembatan di dekat situ.
            
“Cantik kau pakai pita kuning, Prita,” pemuda itu menegur dengan suara biasa.
Prita memandang kepadanya, tangannya memegang-megang pita yang mengikat rambutnya yang pendek agak menggelombang itu.
“Bapak tak marah kau pakai celana?”
“Sudah biasa begitu Dar,” penjual rokok itu menyahuti. Prita duduk di bangku penjual rokok itu sambil mengayunkan kakinya perlahan-lahan.
“Kau suka kembang?” pemuda itu mendekatinya dan bertanya halus.
Prita mengangguk dan mengejapkan matanya.
Aku punya banyak di rumah. Kau mau?”
Dan Prita mengangguk pula.
“Tapi kau mesti datang sendiri ke sana,” dia diam. Juga Prita diam. Pemuda itu mengharapkan Prita akan bertanya di mana rumah dia. Tapi Prita yang lembut masih bicara dengan senyumnya saja.
“Kau mau ambil sendiri?”
Prita memandang kepadanya.
“Mau?” Prita tetap memandang kepadanya.
“Bicaralah! Kan aku tak tahu kalau kau diam saja begini.” Prita tersenyum.
“Ah, senyumanmu saja yang kau tunjukkan,” kata pemuda itu perlahan seperti pada dirinya sendiri. Dan Prita yang rupanya juga mendengar menambah lagi senyumnya.
           
Sejak itu Prita dan pemuda itu saling dekat. Sering Prita datang ke tempat pemuda  itu, ke sana, jauh ke dalam kampung. Dan pemuda itu sering pula datang ke rumah dalang itu untuk mengajak Prita jalan-jalan atau bersepedaan ke luar kampung. Dunia Prita tak lagi berbatas kampung dan rumahnya (sejak keluar sekolah dia tak pernah ke luar kampung). Tak cuma menjual rokok, bapak dan emaknya yang dikenalinya dengan baik. Dia juga kenal mobil dan kereta api yang makin aneh bentuknya, meskipun Prita hanya tahu wujudnya saja (dia belum berkesempatan naik kedua benda itu). Mata Prita yang lembut itu tak lagi punya sinar bila berpapasan pandang dengan oranglain yang asing baginya. Tapi ketidakwarasan otaknya tetap melingkupi kesadaran yang kadang-kadang sama sekali hilang.
            
Siang itu mereka, Prita dan pemuda itu, sama terlindung oleh hujan di bawah atap gereja. Hari yang dipenuhi udara mendung membikin orang kadang-kandang harus mencari tempat berlindung karena hujan tiba-tiba datang dengan deras dan angin mengelilinginya. Prita merenung ke jalan besar.
            
Angin dan air yang saling bergumul di atas jalan itu sangat mengasyikkannya. Alangkah indah daun-daun pohon yang tumbuh sekitar situ turun beterbangan bersama air memutih. Seperti asap rupanya. Dan angin keras yang datang ke dalam lindung gereja itu membawa titik air berkepyuran mengenai mukanya. Segar. Sejuk. Senyumnya menyimpul di bibir. Dan mata yang linang itu makin manis nampaknya. Tak ada kegelisahan yang membayangi mukanaya. Sedang bagi manusia lain yang juga bersama dia mencari atau berlindung ke gereja itu mungkin ada dan banyak yang menyesali suasana hujan itu. Mereka rugi oleh waktu, dan air serta angin yang mengabuti jalan itu tak menarik bagi mereka.
           
“Aku mau terbang,” tiba-tiba dia keluarkan suara. Pemuda itu memandangnya.
“Aku mau jadi daun itu, bersama angin dan hujan ringan melayang seperti serimpi.”
“Tapi kau mau garuda, bukan?” pemuda itu menyela. Prita diam, tapi bibirnya tersenyum.
“Aku baru menulis tentang sebuah siang yang berbadai. Tapi di situ aku bayangkan semua orang ketakutan. Kau takut keadaan macam ini? Banyak angin dan hujan?”
“Tidak. Aku tak takut.” Prita menggelengkan kepalanya perlahan.
“Aku suka begini. Dan aku ingin siang terus seperti ini. Indah sekali jalan itu, bukan?”
            
Prita menunjukkan tangan kirinya ke arah jalan yang memutih seperti kabut itu. Sekali-sekali nampak motor hitam lewat, remang-remang saja bentuknya.
Dan malamnya Prita makin memimpikan dirinya terbang dengan megah dan indahnya.
            
Akhir-akhir ini ada seorang kenalan bapaknya yang datang berkunjung ke rumahnya. Orang itu amat bengis nampaknya dengan kumis dan jenggotnya yang panjang. Tapi Prita tak ribut openi orang itu, cuma dia selalu mengamat-amati sebuah benda yang dibawa orang itu jika datang. Benda itu hijau, seperti atau hampir seperti sepeda motor, tapi juga seperti kereta angin anak-anak baginya, ah, tidak seperti sepeda roda tiga. Dia pernah dengar namanya sekuter. Alangkah rindunya dia dengan suara benda itu. Tiba-tiba dia diserang satu keinginan yang tak bisa lagi ditahannya. Dia mau menaikinya.
            
Dulu dia pernah naik sepeda sewaktu masih sekolah. Dan sekarang, ia selalu memasang matanya baik-baik mengingati segala cara dan kerja orang berjenggot itu sebelum naik sekuternya. Prita dapat mempergunakan pikirannya untuk mengingati cara menghidupkan mesin benda itu. Tapi kesempatan untuk menaikinya belum juga didapatinya. Kalau orang berjenggot itu datang dan sudah asyik omong-omong dengan bapaknya di serambi. Prita perlahan-lahan mendekati dan memegang-megang sekuter itu dengan matanya memandangi penuh keingianan, lembut, dan sayang. Segala keasyikan lain sudah dilepaskannya. Dia tak lagi peduli pada Jatayu di atas ambennya. Juga dia tak lagi sering menunggui pemuda itu di rumahnya yang menulis dan membaca saja kerjaannya. Dia mau terbang. Dan terbang kali ini adalah dengan sekuter, dengan benda yang punya deru seperti kapal terbang bagi telinganya.
            
Senja. Gerimis memenuhi hari ini sejak pagi siang dan sore. Prita memandang dengan mata yang tak selembut biasanya. Terpaku matanya kepada benda yang ada di mukanya.
            
Dan perlahan pasti tangannya memegang kemudi sekuter. Erat. Tak hendak dilepaskannya lagi rasanya. Dan seperti digerakkan sesuatu yang pasti pula. Prita membalikkan arah sekuter, dan terus dituntunnya agak jauh dari rumahnya. Kemudian dengan cepat dan tepat tangannya mulai bekerja menghidupkan mesin. Bapaknya dan orang berjenggot sedang minum kopi di serambi belakang. Ricik gerimis tak pula ketinggalan untuk ikut menguatkan alasan bagi Prita buat berpura-pura diam di kamarnya.
            
Prita sudah naik di atas sekuter itu. Sudah jalan ke luar kampung dengan tak menoleh kepada siapapun yang ditemuinya di jalan. Dia terus memegang kemudi dengan penuh kesungguhan. Celana tiga perempat yang biru dan baju putih makin penuh titik-titik gerimis. Dan rambut yang tak pernah teratur itu berpencaran mau terbang dengan angin yang menyorong dari belakang.
            
Prita tetap tenang. Tapi tiba-tiba dia belokkan sekuter itu ke kiri, ke jalan mendaki yang ada di kota itu. Naik, terus naik. Mukanya tak lagi lembut, tapi penuh kesunggguhan dan kemegahan. Dia rasakan begitulah rasanya terbang. Terbang di antara awan, hujan dan angin. Inilah mimpinya yang membuntuti sejak kecil hingga umur delapan belas tahun. Dia benar-benar bersikap tegak seperti juru terbang di belakang kemudi pesawatnya, penuh tanggung jawab dan ketegasan pada sikap duduk dan pandangannya. Naik, dan masih terus naik. Gerimis yang turun ke bumi masih tetap seperti tadi. Dan jalan yang lengang itu makin memberi keleluasaan pada Prita buat tetap bermimpi di atas awan dan angin. Datar penghabisan tanjakan sudah nampak. Dan kini menurun. Terus menurun. Terus turun. Prita makin tak bisa lagi menguasai kesadarannya.
            
“Aku terbang, aku terbang. Aku melayang di atas awan dan angin.” Teriaknya menyeling gerimis yang terus mericik. Dan rumah-rumah serta warung-warung kecil di jalan bawahnya nampak kecil. Pada desakan rasa yang tak tertahan lagi, Prita mengembangkan kedua tangannya. Kemudian dilepaskannya. Sebentar dia bisa lurus dengan keseimbangannya. Dia menirukan burung, terbang betul-betul dengan sayap terentang di kanan kirinya. Tapi angin dari kiri yang menyentuhnya tiba-tiba membuat satu goyangan. Prita tak dapat lagi mempertahankan keseimbangannya. Miring ke kanan, dan dengan tiada memakan waktu lama dia jatuh terguling bersama sekuternya ke bawah, turun, terus turun bersama dengan deru mesin yang mendengung senja dan gerimis.
           
“Tidak, aku tak mau jatuh, aku mau tebang,” dia masih sempat berteriak dengan kerasnya, teriak manusia sadarnya. Langit, rumah, gundukan bukit di sekitarnnya berputar di antara gulingan tubuhnya yang turun, terus turun bersama sekuter itu. Tak ada yang mau memperhatikan teriakannya itu.
            
Prita tergolek tepat di tanjakan jalan mulai naik. Kepalanya kelu terkuali, merah dan hitam, darah dan rambutnya. Diam dia di sana. Diam kaku disiram gerimis senja yang makin gelap. Kediamannya menelan kegagahannya dan kemegahannya sebentar tadi sewaktu terbang dengan tangan terkembang. Prita jatuh, pecah dan remuk seluruh anggota tubuhnya seperti Jatayu jatuh ke senjata Rahwana. Segala mimpi dan angannya hendak terbang cuma bertebus beberapa menit di atas sekuter yang dirinduinya sebagi pesawat terbangnya, sebagai garuda yang mendukungnya ke angkasa.
            
Dan Jatayu masih tetap tergantung di atas ambennya menunggu buat bersama bermain lagi. Tapi Prita tak bangkit lagi. Dia mati seperti tokoh wayang yang dieratinya sejak kecil mula. Gerimis terus turun hingga malam dan esoknya.

SELESAI--

Karya : Nh. Dini
Tahun : 1950

Diketik ulang oleh : -Little Dreamer-

Sumber dari buku paket Bahasa Indonesia SMP milik ayah saya :D

Komentar

  1. Aku suka cerpen memukau yang pertama kali kubaca di halaman hampir terakhir buku cetak Bahasa Indonesia. Sudah hampir 6 tahun lalu dan aku masih suka ceritanya.

    BalasHapus
  2. Keinget sekilas pernah baca waktu kecil,nyoba nyari ketemu ini,terimakasih telah mengingatkan sesuatu yang hilang dan berkesan

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Latihan Soal E-Commerce BSI Pertemuan 1-6

14 Jenis Muamalah, Contoh dan Dalilnya