Cerpen Islami-Sebening Kristal Salju



Suasana siang hari ini begitu terik. Selesai mengikuti kelas Bahasa Inggris aku lebih memilih duduk di bawah pohon randu di taman kampus yang walaupun tidak terlalu besar namun cukup teduh. Ku dengarkan alunan musik pop kesukaanku lewat headset sambil menikmati capuccino cincau yang baru ku beli.


“So this is me swallowing my pride
Standing in front of you, saying I'm sorry for that night
And I go back to December all the time”
Namaku Zazkia. Mahasiswi semester satu di sebuah kampus swasta di kotaku. Ini bulan keduaku sebagai mahasiswi. Berkutat dengan tugas terkadang membuatku jenuh dan bosan. Apalagi aku termasuk tipe orang yang sulit tertarik dengan hal-hal baru. Namun entah mengapa kali ini aku sangat tertarik dengan seorang gadis yang tiba-tiba duduk di sampingku sambil membaca sebuah buku bersampul putih yang nampak judulnya “300 Dosa Yang Diremehkan Wanita”.
Gadis itu melemparkan senyumnya yang manis. Aku pun membalas senyumnya dengan agak canggung. Diam-diam aku memperhatikan penampilan gadis ini yang sungguh bertolak belakang dengan penampilanku. Sepatu balet manis berwarna coklat lengkap dengan kaos kaki warna kulit, rok hitam panjang hingga mata kaki, hem biru langit yang terlihat longgar dan panjang hingga punggung tangan dan jilbab lebar berwarna senada menutupi dadanya. Pancaran wanita sholehah yang riang terlihat jelas dari penampilan dan wajahnya.

Sedangkan penampilanku? Sepatu balet tanpa kaos kaki. Celana jeans ketat yang bahkan menurutku pun agak sempit dengan dipadukan baju model jas berlengan tiga perempat yang juga hanya pas badan, wajah penuh make up dan kepala tanpa jilbab. Sesaat aku merasa malu melihat penampilanku sendiri yang jauh berbeda  dengannya.

Saat pandanganku kembali ke wajah lembutnya, ternyata dia pun tengah memandangku. Aku kaget dan tak enak hati. Namun dengan lembut dia memulai pembicaraan dan memperkenalkan dirinya.

Assalamu’allaikum. Aku Bening. Semester tiga di kampus ini juga” katanya sambil menjulurkan tangan dan tersenyum. Kubalas uluran tangannya dengan perasaan canggung yang masih terus terasa di hati.
“Zazkia. Mbak bisa panggil aku Kia. Aku semester satu” jawabku setelah melepas headset dari telingaku. Saking gugupnya aku sampai lupa membalas salamnya.

Ternyata pakaiannya yang serba tertutup tidak mencerminkan sifat dan hatinya. Dia amat bersahaja dan ramah. Garis wajahnya yang ayu memancarkan kesan bahwa dia tipe gadis yang baik, santun, periang dan amat sholehah. Banyak pertanyaan muncul di dalam benakku. Tapi rasanya lidahku kelu dan tak berani berucap apapun.

Masih dirundung tanya tiba-tiba Mbak Bening berdiri.
“Aku duluan ya Kia. Aku mau ada kelas. Zadanallah ilman wa hirsha. Assalamu’allaikum” katanya sambil tersenyum simpul dan berlalu.
Wa’allaikumsallam” aku baru menjawab setelah Mba Bening berjalan cukup jauh dariku. Apa arti kalimat yang dia ucapkan tadi?

TTTTT

Esok paginya aku bangun  lebih pagi dari biasanya dan bergegas menuju kampus. Aku ingin sekali bertemu dengan Mbak Bening. Semalaman aku tak bisa tidur, terpikirkan semua hal tentangnya yang aku lihat dan rasakan saat pertemuan pertama kami kemarin siang. Aku tahu dimana kemungkinan terbesar aku bisa menemukan Mbak Bening. Masjid kampus.

Lima puluh meter menuju masjid kampus sayup-sayup ku dengar lantunan ayat suci Al-Qur’an yang merdu. Rasanya bulu kudukku berdiri mendengar suara indah itu. Semangatku semakin menggebu ingin segera bertemu pemilik suara itu. Aku yakin itu Mbak Bening.

Shadaqallahul ‘Adzim” ucap Mbak Bening menyudahi tilawahnya yang merdu pagi ini. Belum sempat aku menyapa dan masuk ke dalam masjid, dia sudah lebih dulu melihatku dan menyapaku dengan ramah.
“Eh Kia. Sini masuk. Senang sekali bisa bertemu kamu lagi. Kaifa haluki?” tanyanya dengan senyum yang berbinar. Wajahnya terlihat putih bersih dan bersinar. Subhanallah, tanpa sadar aku mengucapkan itu dengan lirih sambil berjalan masuk ke dalam masjid dan duduk menghadap Mbak Bening. Aku tak menjawab pertanyaannya karna lagi-lagi aku tak tahu apa arti dari ucapannya barusan.

Melihatku masih diam dan tak menjawab Mbak Bening kembali bertanya.
“Apa kabar Dhek Kia?”
“Ooh, sehat mbak” jawabku singkat dengan senyum yang ku buat semanis mungkin.
Alhamdulillah. Ada kelas pagi ya? Kok jam segini udah di kampus?” tanyanya lagi dengan penuh kelembutan.
“Engga mbak, aku sengaja pengen ketemu Mbak Bening. Ada yang pengen aku tanyain” Mbak Bening nampak sedikit kaget dengan pernyataanku. Namun Mbak Bening mengangguk dan mempersilahkanku untuk bertanya-tanya.
“Kenapa mbak memilih penampilan seperti ini? Apa ngga gerah mbak pakai kerudung selebar itu?” tanyaku tanpa ragu lagi. Keingintahuan yang begitu besar membuang semua perasaan malu dan canggung. Aku ingin tahu banyak hal dari Mbak Bening.

Dengan sabar dan tenang Mbak Bening menjelaskan banyak hal perihal wanita dan jilbab. Perlahan tapi pasti aku mulai mengetahui alasan terbesar mengapa Mbak Bening begitu keukeuh menutup auratnya. Mbak Bening menyayangi ayahnya.

“Loh apa hubungannya mbak?” aku tidak mengerti mengapa hal itu bisa menjadi alasan baginya berpenampilan semuslimah itu.
“Wanita yang sudah baligh itu wajib menutup auratnya jika berhadapan dengan orang yang bukan mahram dhek. Nah,  kalau kita yang sudah baligh tetap tidak mau menutup aurat, maka ayah kita juga akan menanggung dosa kita, selama kita belum bersuami” terangnya dengan bijak. Melihatku masih tidak mengerti, dengan lembut dan pelan ia membacakan arti dari sebuah ayat di dalam Al-Quran.
“Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min : Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu “ (Q.S. Al-Ahzab : 59)
“Wanita itu bagaikan salju yang putih bersih. Jadi jangan sampai kita kotori diri kita dengan rasa enggan untuk berjilbab. Kalau ingin jadi bidadari di surganya Allah, kita harus jadi bidadari di dunia ini dulu dong”.
“Jadi jelas kan dhek kenapa menutup aurat itu wajib? ” tanyanya sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk tanda mengerti. Rasa malu dan takut semakin menjalari setiap urat nadiku. Bagaimana mungkin aku menyeret ayahku sendiri ke dalam neraka?

Banyak pengetahuan tentang Islam yang aku dapat dari Mbak Bening. Ini kali kedua kami bertemu, tapi aku merasa begitu dekat dengannya. Caranya bicara, membacakan hadist-hadist, menerangkan segala hal, memberikanku pengertian-pengertian menjadikanku memahami banyak hal. Mbak Bening berbeda. Mbak Bening istimewa.

Selesai bercakap-cakap selama kurang lebih dua jam aku berpamitan untuk mengikuti kuliah pagi ini. Sambil berlalu pikiranku semakin menerawang jauh. Menyadari kesalahanku selama ini. Dan berdoa agar Allah mengampuni semua kekeliruanku. Dalam hati aku bertekad memperbaiki diriku sebaik-baiknya, sedikit demi sedikit.

Usai kuliah aku menuju sebuah pusat perbelanjaan dekat kampus dan membeli beberapa pasang pakaian panjang beserta kerudung lebar. Hatiku telah mantap untuk berubah. Kata-kata Mbak Bening menginspirasiku begitu dalam dan cepat. Aku berencana untuk datang ke rumahnya sore ini sesuai janjiku tadi pagi dan menggali lebih banyak ilmu dari telaga pengetahuan keislaman Mbak Bening yang mampu ia sampaikan dengan begitu sejuk.

TTTTT

Perjalanan pulangku terasa lebih ringan dan membuatku bahagia. Sepercik cahaya terang baru saja masuk ke dalam kehidupanku yang selama ini suram, bahkan tanpa cahaya. Sepeda motorku kulajukan dengan santai. Ya Allah, terimakasih karena Engkau telah mengirimkanku seorang malaikat lagi.

Sampai di rumah aku langsung menuju kamarku, mandi dan menunaikan sholat Ashar. Pakaian yang baru ku beli tadi siang langsung ku kenakan. Aku terpaku di depan cermin melihat bayanganku sendiri. Subhanallah, aku terlihat jauh berbeda dari Zazkia yang dulu. Amat jauh berbeda. Selain itu, hatiku terasa lebih tentram usai sholat Ashar. Kesejukkan kata-kata Mbak Bening terasa mengalir lagi ke dalam sanubariku.

Suara motor Ayah menderu memasuki pagar rumah ketika aku baru saja menaiki motorku. Ku pasang lagi standar motorku dan menghampiri ayah. Dengan takzim aku mencium tangannyaa. Beliau tampak kaget melihat penampilanku dan apa yang barusan aku lakukan.

“Ayah, Kia pamit mau ke tempat temen ya di kompeks sebelah. Kia mau ngaji. Assalamu’allaikum” pamitku.
Wa’allaikumus sallam anakku. Hati-hati dijalan”. Senyum ayah mengembang lebar dan tampak guratan wajah bangga di wajahnya.

TTTTT

Jalan Purnama nomor 84...
Ini betul alamatnya Mbak Bening. Persis seperti yang tertulis di kertas yang diberikannya tadi pagi. Lalu kenapa seramai ini? Pakaian hitam? Astaghfirullah hal’adzim, ada apa ini Ya Allah?

Ku parkirkan motorku berjajar dengan motor dan mobil lain di halaman rumah Mbak Bening yang tak begitu lebar namun terawat. Perlahan aku masuk ke dalam kerumunan orang-orang yang berpakaian serba hitam itu. Siapakah yang meninggal?

Tiba-tiba seorang wanita seumuran Mbak Bening menghampiriku. Wajahnya tampak sayu dan matanya merah.
Assalamu’allaikum. Aku Sarah, temen sekelasnya Bening. Kamu Zazkia kan? Ini ada titipan dari Bening untuk kamu. Dia memberikan ini sebelum dia kecelakaan tadi pagi. Kamu yang sabar ya Zazkia” katanya sambil memberikan sebuah kantong plastik. Kecelakaan?

Kubuka kantong plastik itu. Isinya sebuah kerudung baru berukuran lebar berwarna biru muda, persis seperti kepunyaan Mbak Bening. Lalu dengan perlahan kubaca tulisan di secarik kertas yang tertempel disana.

Zadanallah ilman wa hirsha..
Semoga Allah menambah kita ilmu dan semangat..
Terimakasih sahabatku Zazkia untuk semua yang kau tularkan kepadaku..
                ~ Bening ~

Tubuhku lemas, kepalaku pusing, dan dadaku pun sesak. Air mata mulai mengalir membasahi pipiku. Apa aku baru saja kehilangan malaikatku yang baru saja ku temukan? Apa kesedihan orang-orang di sekelilingku ini karena Mbak Bening? Astaghfirullah, Astaghfirullah, Astaghfirullah. Hanya itu yang keluar dari mulutku.

Wanita tadi memegang bahuku erat dan membimbingku masuk ke dalam rumah Mbak Bening. Air mataku mengucur semakin deras. Suara tangisku semakin keras tatkala aku melihat Mbak Bening tertidur begitu pulas dengan balutan kain kafan. Ia sudah meninggal dunia.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un,,

Ketakutanku menjadi nyata. Mbak Bening telah pergi untuk selama-lamanya. Meninggalkan bekas ilmu yang begitu mendalam dalam sanubariku. Hatinya yang ayu telah membuatku terpesona, meskipun kami baru bertemu kemarin siang. Tutur katanya membuatku terhipnotis dan serasa ingin terus mengikutinya.

Dan kini wajah itu, kata-kata sejuknya, candanya yang renyah tak akan pernah bisa aku temukan lagi.
Terimakasih Mbak Bening. Kebeningan akhlakmu telah menuntunku ke dalam terangnya ilmu Islam. Begitu mudah bagiku untuk menyayangimu, namun tak akan  mungkin hati ini menghapus semua tutur yang engkau ucapkan. Semoga Allah menjadikanmu bidadari surga yang terindah, tercantik, terbening sebening kristal salju. Insya Allah, akan kuarungi Islam dengan teguh seteguh dirimu. Aamiin Ya Rabbal’allamin..




~RLK - Little Dreamer~
29 November 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Latihan Soal E-Commerce BSI Pertemuan 1-6

14 Jenis Muamalah, Contoh dan Dalilnya