Cerpen - Yang Tak Terlihat


19.00 WIB, di kamarku
“Biasanya aku tak cantik. Yah, tak secantik malam ini”
Aku menatap lekat-lekat sosok di kaca, mengagumi keanggunanku yang terpancar dari setiap sudut penglihatanku sendiri. Ku putar-putar tubuhku ke kanan dan kiri untuk melihat penampilanku malam ini. Dress selutut berwarna biru muda dengan detail bunga-bunga mawar kecil di pinggang sebelah kiri, panjang dress ini menggantung hanya sebatas lutut, lengannya yang tak lebih dari 10 sentimeter dan bentuk kerahnya terlihat amat feminin untuk seleraku biasanya. Gaun ini gaun terbaik yang bisa aku pilih dua minggu kemarin saat berkeliling mengunjungi setiap butik yang aku temui. Malam ini aku harus sempurna, harus!

Tepat lima menit kemudian dua kali bunyi klakson menyadarkanku. Aku melongok ke jendela, Rama ada di halaman dengan motor matic warna kuning putih kesayanganya. Segera aku menyambar tasku dan keluar kamar.
“Cantik sekali kamu Va. Tapi pasti lebih cantik lagi kalo sepatunya diganti pakai wedges yang dibeli kemarin, ngga pake sendal tidur gitu”, kata Mama sambil menahan tawa. Mama berdiri di depan kamarku tepat saat aku keluar kamar. Spontan aku menunduk lalu menepuk jidatku. Bergegas mengganti sandal tidur yang aku kenakan dengan sepatu cantik berwarna senada dengan dressku.
“Makasih ma. Aku berangkat dulu”, aku mencium tangan Mama dan berlari kecil ke pintu.
Rama masih duduk di atas motornya, terlihat sedikit kaget dengan penampilanku namun tak memuji atau berkomentar apapun.
“Ayo”, katanya sambil menegakkan motornya dan mengangkat standar yang menyangganya. Aku sedikit kecewa dengan tidak adanya komentar apapun keluar dari mulutnya atas penampilanku malam hari ini.
“Pelan-pelan Ram, takut rambutku rusak”
“Siap Tuan Putri”, aku hanya tertawa sambil menepuk pundaknya cukup keras.
Kurang dari limabelas menit aku sudah sampai di lapangan parkir sekolahku, sebuah bangunan yang cukup luas yang menyimpan berjuta cerita selama tiga tahun aku disana. Setelah memarkir motornya, Rama dan aku berjalan beriringan memasuki lapangan utama, tempat acara reuni dilaksanakan. Lapangan yang tadinya hanya dihiasi sepasang tiang ring basket ini, kini telah disulap menjadi arena gemerlap dengan lampu kecil dan besar yang menerangi. Meja-meja bundar berukuran sedang ditata rapi di banyak titik dengan enam kursi yang melingkarinya. Masing-masing berbalut kain putih bersih.
Awalnya aku tidak menjumpai satu pun orang yang aku kenal, berbeda dengan Rama yang sudah menyalami dan bertanya kabar dengan hampir sepuluh orang. Hingga kami bertemu dengan Kinan, teman akrab kami berdua dulu.
“Wah jadi sekarang kalian sudah jadian nih?,” celotehnya tiba-tiba setelah mengucapkan hay dan menyalami kami berdua.
“Haha engga lah Nan, kita kesini bareng bukan berarti pacaran kan? Aku cuma kasian sama Silva, soalnya ngga punya temen katanya”, jawab Rama sambil terkekeh.
“Jangan didengerin Nan, Rama dari dulu ke-PDannya emang ngga sembuh-sembuh”, ledekku sambil ikut tertawa. Lalu Kinan menggandengku dan mengajakku duduk bersama di sebuah meja di barisan ketiga, bersama teman-teman sekelasku yang sudah lebih dulu duduk disana. Baru dua langkah berjalan, Kinan berhenti.
“Oh iya Ram, barangkali kamu nyariin Ana dia tadi ada di sana”, dia mengedipkan mata ke arah Rama sambil menunjuk suatu tempat dan kembali menggandengku. Aku melambaikan tangan ringan ke arah Rama yang terlihat lebih kaget dari saat ia melihat penampilanku tadi sebelum berangkat.

20.00 WIB, di sebuah meja
Kinan, Gisella, Mufi, Rima dan Sandra duduk bersamaku di meja ini sambil menikmati alunan musik jazz yang sedang dimainkan di atas panggung. Mereka banyak memujiku malam ini. Kinan berkata make upku jauh lebih feminin dari terakhir kami bertemu, setahun yang lalu. Gisella dan Rima sama-sama setuju dengan bentuk tubuhku yang sangat ramping menurut mereka. Mufi yang sedari tadi banyak mengomentari pakaian orang-orang yang melewati meja kami, sangat memuji kepintaranku memilih model dan warna dressku yang menurutnya paling elegan diantara perempuan-perempuan lainnya. Sedangkan Sandra menyukai tatanan rambutku yang aku gulung ke atas dengan tambahan aksen kepang di samping kiri dan kanannya. Aku merasa 50% puas karena hasil kerjaku dan Mama berjam-jam di depan kaca berakhir sempurna di mata sahabat-sahabatku.
“Jadi, siapa nih gandengan kalian sekarang? Kalo aku namanya Miko, baru jadian sebulan yang lalu. Hehe” tiba-tiba Sandra mengalihkan topik pembicaraan kami dari fashion ke cerita pribadi.
“Yang jelas aku sama Gisell masih setia sama yang kemarin,” jawab Rima.
“Pacarnya Kinan namanya Robi, temen se-fakultas. Ya kan Nan?”, ledek Gisell.
“Apa si Gi, ember banget. Kalo Mufi udah jelas jomblo nih, soalnya baru kemarin curhat katanya baru putus. Tapi kalo Silva gimana?”, Kinan tertawa diikuti yang lainnya kecuali Mufi yang cemberut sambil mencubit lengan Kinan.
“Aku masih setia kok. Setia sama orang yang ngga move on-move on dari mantannya”, jawabku enteng sambil tertawa.
“Yah Silva, dari dulu ngomongnya gitu terus. Ayo dong move on dari orang yang ngga bisa move on. Percuma kan nungguin orang yang jelas-jelas masih suka sama orang lain”, timpal Gisell.
“Emang siapa Va?” Mufi bertanya penasaran. Aku hanya mengangkat bahu sambil tertawa.
“Pasti Novan ya? Sebelum lulus kan terakhir kamu pacaran sama dia”, Mufi menebak asal. Sebelum sempat aku menjawab,,
“Itu dia orangnya. Mau kesini keliatannya”, Sandra tiba-tiba menunjuk satu arah. Novan disana.
Belum hilang wajah kagetku, Novan sudah sampai di meja kami. Menyapa kami semua dengan senyumnya yang khas. Menurut Gisella, Novan adalah salah satu laki-laki paling manis diangkatan kami dulu, dan diam-diam aku juga mengakuinya. Ketika mereka tertawa, aku hanya pura-pura menikmati suasana ini yang sebenarnya jauh dari rasa nyaman menurutku. Dan lebih mengagetkan lagi ketika Novan tiba-tiba menyapaku secara pribadi sambil mengulurkan tangan.
“Hai Va, apa kabar? Mau ngga duduk di sana sebentar sama aku?”, aku terkesiap sejenak. Tapi mau tak mau aku menyambut uluran tangannya sambil mencoba bersikap biasa saja.
“Aku baik Van”, jawabku sambil berdiri dan berjalan berdampingan dengannya meninggalkan teman-temanku yang tertawa meledek dari balik meja.

21.30 WIB, di sebuah bangku taman
“Tadi itu Rama kan? Sama Ana bukan ya? Kayanya mereka masih akrab gitu ya Va?”, tanyanya ketika kami sampai di sebuah bangku di tengah taman dekat lapangan utama.
“Iya. Kebetulan tadi aku berangkat sama Rama. Tapi setelah bareng sama Kinan aku ngga ngliat dia lagi, ternyata lagi sama Ana”, Novan sedikit kaget menyadari nada sinis di perkataanku.
“Kamu masih sama kaya dulu Va, cuma jauh lebih cantik. Nyesel aku baru nyadar sekarang setelah tiga taun kita ngga ketemu.” Aku melihat senyum tulus dari wajahnya.
Dan dia pun masih sama. Dengan aroma parfum yang masih sama dengan aroma parfum yang biasa aku cium di seragam sekolahnya dulu. Postur tubuh dan penampilan yang tak jauh berbeda dengan penampilannya dulu. Nada bicara yang masih lembut seperti dulu. Dan senyumnya, senyum yang sama sekali tak berubah sejak kami pertama berkenalan di kelas dua.
“Makasih Van”, jawabku singkat sambil membalas senyumnya.
“Jadi, apa yang aku lewatkan selama tiga tahun ini Va?”
Cukup lama aku berbincang dengan Novan, menceritakan banyak hal dari diri kami masing-masing. Dia yang sekarang sedang menempuh S1 jurusan arsitektur di sebuah universitas di Surabaya memang sudah pindah bersama keluarganya ke kota itu setelah lulus kuliah. Meskipun dia sudah jarang berkunjung ke Jakarta, tapi dia meyakinkanku bahwa setiap dia berkunjung meskipun hanya beberapa hari, dia selalu mencoba untuk menghubungiku dan menemuiku. Aku mengakuinya dalam hati dan tiba-tiba merasa bersalah. Beberapa kali saat ia meminta bertemu, aku merasa tidak nyaman dengan ajakannya dan mencoba mencari banyak alasan untuk menghindarinya. Rasanya aneh dan, dan gugup setiap ajakan itu datang. Aku takut bertemu Novan, aku takut ia memintaku untuk memulai lagi apa yang dulu kami akhiri.

22.00 WIB, di tepi lapangan utama
“Kamu mau balikan lagi sama aku Va? “, pertanyaan itu menghentikan langkah kakiku yang tadinya akan kembali ke meja di baris ketiga disana. Aku diam sambil terus memandang matanya lekat.
“Maaf Va kalo menurut kamu ini tiba-tiba, tapi aku udah nunggu moment ini sejak aku pindah ke Surabaya dan ngga pernah berhasil hubungi kamu lagi.” Aku terus diam, mencoba mengumpulkan kemampuan bicaraku lagi.
“Novan, kamu bener kalo kamu bilang aku masih sama kaya yang dulu. Karna aku bener-bener ngga berubah, aku masih Silva yang kamu kenal, masih Silva yang sayang sama satu orang yang sama sejak dulu”, aku memotong bicaraku sendiri saat melihat Novan tersenyum bahagia sambil menggenggam tanganku.
“Tapi orang itu bukan kamu Van”, sontak wajah itu kaget dan melepaskan genggamannya perlahan.
“Tapi Va, Silva yang aku kenal itu Silva yang sayang sama aku, yang dulu jadi pacar aku hampir dua tahun, yang selalu keliatan bahagia setiap bareng sama aku, yang sikapnya bikin aku nyaman. Terus kenapa, kenapa bukan aku Va?”
“Maaf Van, tapi mungkin selama dua tahun itu aku terlalu banyak pura-pura bahagia di depan kamu.”
Sebisaku aku menjelaskan kepada Novan tentang maksud dari kata-kataku. Aku tidak ingin pertemuan tak terduga kami di acara ini malah membuat hubungan pertemanan kami rusak.
Silva yang dia kenal adalah Silva yang sempat jadi pacarnya selama hampir dua tahun, padahal hubungan itu tidak lain agar aku tahu dan belajar bagaimana rasanya pacaran. Silva yang dia kenal adalah Silva yang bahagia setiap bersamanya, padahal selama hampir dua tahun aku hanya berpura-pura bahagia, atau tepatnya belajar bahagia bersama seseorang. Silva yang dia kenal adalah Silva yang mampu membuatnya nyaman, tapi sungguh sebenarnya aku ingin ada orang lain yang merasa nyaman dengan kehadiranku selain Novan.
“Lalu siapa orang itu? Orang yang selama ini kamu sayang? Siapa kalau bukan aku Va?” aku menarik nafas dalam. Bukan maksudku untuk mengakhiri cerita ini dengan kebohongan, jadi mungkin ini saatnya untuk berbicara jujur. Novan berhak tahu dan berhak mendapat alasan atas semua kepura-puraanku.
“Dia sahabatku sendiri Van.”, dia terlihat serius menunggu penjelasanku.
Dulu saat sahabatku itu mulai jatuh cinta pada seseorang, pada saat yang sama aku juga jatuh cinta padanya. Matanya terlihat berbinar setiap bercerita tentang gadis itu, dan aku menyukai binar mata itu meskipun dalam hati aku kecewa. Apalagi saat mereka berdua resmi berpacaran, aku benar-benar sedih dan berpura-pura tersenyum saat dia menceritakan setiap momen bahagianya. Aku ingin pura-pura tidak peduli, tapi jauh di dalam hatiku aku peduli. Aku peduli bahwa aku benar-benar telah jatuh cinta pada sahabatku sendiri.
Pada saat aku patah hati itulah Novan datang menawarkan kebahagiaan lewat senyumnya yang manis. Aku berfikir mungkin ketulusan Novan akan meruntuhkan setiap keping cinta yang telah terbentuk untuk sahabatku. Tapi ternyata, kepura-puraan semakin menjadi. Selain berpura-pura senang dengan hubungan cinta sahabatku itu, aku juga berpura-pura bahagia bersama Novan. Pengalaman pertama pacaranku benar-benar diisi dengan hal manis oleh Novan. Dia tidak pernah sekalipun membiarkan aku bersedih dan selalu bersedia mengalah demi aku. Hingga akhirnya niatku untuk mencoba mengalihkan perasaan berubah menjadi keinginan untuk menarik perhatian sahabatku.
Tapi usahaku gagal. Semakin hari sahabatku semakin mencintai gadisnya, dan aku semakin berpura-pura bahagia dengan Novan. Kenyamanan yang aku tawarkan kepada Novan semata hanya agar Novan tak menjauh dan terus bersedia membuatku terhibur. Hingga ketika entah apa masalahnya, hubungan sahabatku dan gadisnya berakhir, aku pun memilih jalan yang sama untuk mengakhiri hubunganku dengan Novan dengan alasan sepihak. Aku tidak peduli lagi dengan ketulusannya. Yang aku tahu, mungkin ini kesempatanku untuk membuktikan rasa sayangku yang selama ini aku pendam dalam-dalam.
Bertahun-tahun hingga kini, aku masih jadi punguk yang merindukan bulan. Aku terus mengejar cintaku tanpa berani menungkapkannya. Aku melanjutkan kepura-puraanku dengan menjadi sahabat yang tetap setia dengan pujaan hatiku itu. Aku rela menjadi tempatnya berkeluh kesah saat dia membutuhkan itu, dan rela ditinggalkan saat dia merasa sudah cukup bercerita. Aku rela terus melakukan itu setiap hari selama bertahun-tahun. Aku rela menjadi yang tak terlihat di matanya, hanya sebatas debu yang lewat sejenak lalu hilang entah kemana dan kembali jika angin berhembus lagi ke arahnya.
“Maaf Van, untuk semuanya.” Aku mulai berlinang air mata menahan rasa bersalahku. Rasa bersalah inilah yang membuatku menghindarinya selama ini.
It’s okay Va. Yang penting kamu udah berani jujur sama aku, dan sekarang kamu harus berani jujur sama sahabatmu itu, entah siapa orangnya. Kamu ngga perlu nangis gitu, kamu sendiri yang bilang kalo aku ngga pernah biarin kamu sedih kan? Sekarang aku juga masih ngga akan biarin kamu sedih”, dia tersenyum menghiburku sambil menghapus bulir-bulir air mataku. Beberapa menit kami terdiam, dia menungguku mengakhiri tangisku. Kemudian kami kembali ke meja, bergabung dengan kelima sahabatku yang telah aku tinggalkan bersama Novan selama hampir dua jam. Air mataku sudah tak tersisa di mataku, dan dibawah arena yang bercahaya agak redup ini mereka tak akan tahu aku baru saja menangis.
“Makasih ya udah minjemin Silva, sekarang dia jadi milik kalian lagi,” kata Novan sambil tersenyum.
“Sama-sama”, sahabatku menjawab bersamaan sambil tertawa keras.
“Va, kalo selama ini aku jadi ‘yang tak terlihat’ buat kamu, jangan biarkan kamu terus jadi ‘yang tak terlihat’ dimata dia. Harus ada saatnya kamu jujur sama dia dan sama perasaan kamu sendiri”, dia tersenyum manis sambil berlalu. Dan aku benar-benar tidak menyangka, senyuman itu adalah senyuman yang nantinya paling aku rindukan selama tiga tahun kedepan.

23.50 WIB, di depan rumahku
“Makasih ya Ram udah jemput dan nganter balik”, kataku sambil turun dari motornya.
“Sama-sama Va. Langsung tidur ya, udah malem.” Aku hanya menjawab sambil tersenyum dan berjalan memasuki halaman rumahku.
“Oh iya Va,” aku menengok, “malam ini kamu cantik banget”.
Aku kaget mendengar pujian itu. Satu pujian yang aku harapan sejak berminggu-minggu yang lalu akan aku dengar saat akan berangkat menuju acara reuni, akhirnya aku mendengarnya saat reuni itu benar-benar telah berakhir.
“Makasih Ram”, aku menjawab lirih setelah dia pergi, dan sudah pasti Rama tidak akan mendengarnya dari jarak sepuluh meter yang semakin menjauh.
“Maaf Va selama ini aku memang tidak melihatmu. Aku terlalu buta untuk melihat ada ketulusan yang jauh lebih baik dari yang aku harapkan dari gadis itu. Tapi malam ini aku melihatmu Va, melihat kecantikanmu, dan melihat bahwa kamu lebih dari yang bisa aku lihat sebelum-sebelumnya”, kata Rama lirih dari jarak puluhan meter dari Silva. Suara motornya seakan membenarkan omongan Rama bahwa Silva adalah satu keindahan ‘yang tak terlihat’ olehnya selama ini..

Purwokerto, 28-29 Maret 2016

22:37 - 0:48  WIB

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Latihan Soal E-Commerce BSI Pertemuan 1-6

14 Jenis Muamalah, Contoh dan Dalilnya