Cerpen - Let It Go
Waktu menunjukkan pukul 12 siang ketika
Mila dan teman-temannya keluar dari kelas dan menuju ke kantin kampus. Ada enam gadis berjalan
beriringan sambil tertawa dan saling meledek. Mereka menuju tempat duduk
favorit mereka di kantin itu, di salah satu sisi dinding yang lurus dengan
pintu kantin.
Setelah pesanan dihidangkan, keenamnya
mulai melahap makanan mereka. Mila dengan mendoan siramnya, Ranti dengan mie
ayamnya, Hasna dengan nasi uduknya dan tiga gadis lainnya; Rosa, Fitri dan
Sandi dengan nasi gorengnya. Meski acara makan siang sedang berlangsung, mereka
tak juga berniat menghentikan candaannya dan terus berbicara sambil makan.
“Kemaren pas ke Supermall aku liat-liat
boneka loh Na. Ada boneka Totoro favorit kamu yang super gede tau’”, kata Rosa
kepada Hasna yang duduk di samping kirinya.
“Area boneka yang di lantai tiga bukan
ya Ros?”, Mila menimpali.
“Seriusan? Berapaan? Aku mauuuu”, jawab
Hasna sambil mendelik tak percaya ke arah Rosa. Yang ditanya tampak sebal
dengan pandangan itu. Sedangkan pertanyaan Mila seperti tidak ada yang
mendengar. Mila hanya diam saja sambil terus mengunyah mendoan siramnya.
“Serius lah, ngga percayaan banget si. Harganya
kalo engga salah enam ratus ribu deh”
“Udah beli aja Na, kamu kan udah lama
pengen boneka Totoro. Mumpung ada loh”, Ranti ikut bicara.
“Area boneka di lantai berapa ya?
Kayanya aku pernah ke sana deh”, Fitri mulai tertarik juga.
“Kanyanya lantai tiga deh”
“Sotoy lu San”, Fitri mencibir Sandi.
Memang mereka berdua layaknya musuh bebuyutan kala saling bercanda.
“Emang bener kok lantai tiga”, kata
Rosa. Mereka kompak mentertawai tingkah Fitri.
Topik bicara akhirnya beralih ke gosip
tentang salah satu teman sekelas mereka yang mendapat beasiswa karena curang.
Gosip itu sedang hangat-hangatnya di kampus karena kabarnya anak itu masih
saudara dengan salah satu dosen. Padahal banyak yang menilai kalau prestasi
anak itu biasa-biasa saja, dan ada banyak anak lain yang jauh lebih berhak
mendapatkan beasiswa itu.
Mila sebenarnya kurang tertarik dengan
pembahasan itu karena menurutnya banyak orang hanya menilai sesuatu tanpa
mencari tau lebih jauh tentang kebenarannya. Tapi demi kebersamaan itu, ia
akhirnya angkat bicara,
“Tapi dia kan ikut seleksi wawancara
juga, bukan cuma seleksi berkas”, dan tak ada yang mengiyakan ataupun
menyanggah perkatannya.
Okey, sudah entah keberapa kalinya
perkatannya tidak digubris sahabat-sahabatnya itu sejak mereka keluar kelas dan
mulai mengobrol. Mila mulai emosi karena dari kelima orang yang diajak bicara,
tidak ada satupun yang menghiraukan obrolannya. Ia berdiri dari kursinya,
mendorongnya mundur, menggendong tas punggungnya dan mulai berjalan pergi.
“Mau kemana Mil? Makanannya kan belum
abis”, tanya Sandi melihat Mila hendak meninggalkan acara makan siang bersama
itu.
“Aku baru ingetada janji sama temen mau
ngambil buku yang dia pinjem”, begitu saja Mila menjawab dan segera pergi tanpa
melirik lagi teman-temannya. Hanya Sandi yang melihat kepergian Mila sebagai pertanda
bahwa ada suatu hal yang salah.
**
Mila mengeluarkan novel yang baru
dikembalikan temannya dari tasnya dan meletakkannya di atas meja. Setelah
sholat Zuhur di masjid kampus, ia memilih duduk di depan sebuah minimarket di
dekat kampusnya daripada kembali ke kantin dan menyelesaikan santap siangnya
yang belum usai itu. Hatinya bergemuruh, ia kecewa terhadap teman-temannya. Ada
sepuluh telinga milik orang lain yang harusnya bisa mendengar apa yang ia
sampaikan, tapi nyatanya telinga-telinga itu terlalu penuh dengan
gurauan-gurauan mereka sendiri. Itulah mengapa ia buru-buru pergi mengambil
novelnya, padahal masih ada waktu satu jam sebelum waktu janjian yang sudah
ditentukan.
Ia mulai membuka lembar demi lembar
novel itu sambil memakan coklat yang baru ia beli di minimarket itu. Sesekali
ia juga meneguk susu coklat kotak kesukaannya.
“Enak yah makan siang pake susu coklat
sama coklat segede itu”, Mila kaget ketika tiba-tiba seseorang menghancurkan
konsentrasi bacaannya.
“Alan. Mau belanja ya?”, Mila mencoba
terlihat ramah kepada teman yang dulu pernah satu kelas dengannya saat semester
satu itu, meskipun hatinya masih jengkel.
“Engga kok. Kebetulan aja liat kamu
disini. Boleh duduk?”, Mila mengangguk.
“Tadi aku liat kamu keluar kantin tapi
kaya orang lagi marah. Kenapa Mil?”
“Aku sebel sama temen-temenku Al. Udah
hampir dua taun kita temenan, tapi mereka tetap aja gitu”
“Gitu gimana?”
Belum sempat Mila menjawab, seorang
pengemis menghampiri mereka. Mereka sama-sama mengulurkan uang kepada pengemis
yang dikenal dengan Pak Subur itu. Namanya memang subur, tapi orangnya sama
sekali tidak subur bahkan cenderung kurus kerontang. Dulunya Pak Subur adalah
pedagang sukses, tapi entah karena sebab apa ia mulai miskin dan akhirnya
menjadi pengemis seperti sekarang.
“Ya gitu. Sering banget kalo aku ngomong
mereka pura-pura ngga denger. Aku ngerasa dikacangin Al. Coba deh kamu bayangin
gimana rasanya. Pasti sebel banget kan? Rasanya itu kaya ngga dianggep tau ngga.
Padahal kalo mereka ngomong pasti ada yang ngrespon, termasuk aku. Tapi kenapa
aku engga diperlakukan gitu juga. Sedih banget deh”, Mila menjawab setelah Pak
Subur berlalu. Alan tersenyum mendengar keluh kesah Mila yang mengalir
sepanjang itu padahal sebelumnya mereka jarang mengobrol.
“Jadi itu alesannya kamu makan coklat
segede itu sambil duduk sendirian disini?”
“Coklat kan bisa bikin good mood. Lagian
tempat duduk ini jarang didudukin, kasian kan kalo dianggurin. Padahal minimarket
ini udah ngeluarin duit buat beli kursi mejanya”
“Mau denger cerita tentang Pak Subur
ngga?”
Mila heran mengapa tiba-tiba Alan
menawarkan hal seperti itu saat ia sendiri sedang berkeluh kesah.
“Ngga ada maksud mau menggunjing loh,
tapi ada pelajaran dibalik kisah hidupnya dia, yang kalo menurut aku cocok buat
masalah kamu sekarang.Gimana?”, Mila akhirnya tertarik dan mengangguk.
Alan bercerita panjang lebar tentang
bagaimana kehidupan Pak Subur. Awalnya ia adalah pedagang biasa-biasa saja yang
memiliki toko amat kecil di depan rumahnya. Suatu hari ia bertemu kembali
dengan sahabatnya yang sudah begitu lama tidak ditemuinya. Sahabatnya itu adalah
salah satu pengusaha suplier barang kelontong sukses di kota itu. Pak Subur
layaknya kejatuhan durian, ia ditawari menjadi salah satu agen pengusaha itu
sebagai tanda persahabatan mereka. Pak Subur akan diberi suplai barang-barang
tanpa harus memiliki modal, membayar DP atau apapun namanya. Bahkan secara
cuma-cuma ia diberikan kios untuk tempatnya berjualan. Tanpa pikir panjang,
tentu saja Pak Subur menerima itikad baik dari sahabatnya itu.
“Lalu dimananya dari cerita itu yang
bisa jadi pelajaran buat aku?”
“Sabar Mil, ceritanya masih ada
lanjutnya”, jawab Alan sambil terkekeh.
Alan melanjutkan ceritanya, bahwa dengan
kebaikan sahabatnya itu ia akhirnya berubah menjadi pedagang sukses. Tapi ia
mulai bermasalah dengan sahabatnya ketika beberapa kali ia disuplai barang yang
tidak sesuai dengan orderannya, meskipun belum tentu itu kesalahan murni dari
pengusaha itu. Akhirnya ia memutuskan untuk mengembalikan semua bantuan yang
pernah ia terima, termasuk membayar lunas kios yang dia pakai sekarang. Ia pun mendapat
suplier lain berdasarkan saran salah satu temannya, katanya suplier itu
terpercaya dan harganya jauh lebih murah. Tanpa ia sadar, ia dibohongi temannya
sendiri yang bersekongkol dengan suplier palsu itu. Bahkan sering ia mendapat
kiriman barang yang hampir kadaluarsa. Hanya dalam waktu sebulan, ia merugi
hebat dan bangkrut karena telah ditipu habis-habisan.
“Dia jatuh miskin setelah itu Mil. Modal
yang ia percayakan sama suplier barunya itu terlalu besar, makanya dia akhirnya
bangkrut dan jadi gelandangan seperti sekarang”, Mila tampak berfikir.
“Jadi maksud kamu apa?”
“Gini Mil. Dua taun kalian berteman
pasti bukan waktu yang singkat kan? Harusnya kalian bisa ngerti satu sama lain.
Seperti Pak Subur dan sahabatnya yang saling percaya buat kerja sama itu,
kalian juga udah saling percaya. Dan sekarang karena masalah yang kamu alami
apa mungkin kamu mau ninggalin mereka begitu aja?”
“Ya mungkin. Aku sakit hati Al”, mata
Mila mulai berkaca-kaca dan hatinya kembali bergemuruh.
“Kalo gitu kamu udah siap nanggung
resiko kaya Pak Subur? Kehilangan sahabat yang udah sebaik itu sama dia dan nyari
teman lain yang nyatanya malah bikin dia bangkrut. Menurutku kamu terlalu
sensitif Mil”, Mila menatap Alan heran. Tapi belum sempat berkomentar Alan
melanjutkan bicaranya.
“Ngga selalu orang bisa nuruti apa yang
kita mau. Kalian berenam dan aku tau gimana berisiknya kalian kalo udah
ngobrol. Bisa aja mereka emang ngga denger apa yang kamu bilang, atau mereka
denger tapi mereka kurang tertarik buat nanggepin. Akhirnya kamu ngerasa
dikacangin kan. Aku yakin kamu sendiri ngga selalu selamanya tertarik buat
nanggepin kalo mereka lagi ngomong kan?”
“Jadi jangan sampai kamu kehilangan
kepercayaan kamu ke mereka cuma karena kamu kecewa kaya gini. Let it go Mil,
ikhlasin aja. Kalo kamu mau nerima sikap mereka yang kaya gitu, aku yakin kamu
ngga akan sakit hati lagi. Kamu juga harus mikirin kekurangan kamu dan
bersyukur mereka mau menerimanya. Semua orang punya cela Mil”
Mila manggut-manggut tanda mengerti. Ia
mengambil susu kotaknya lagi dan meneguknya beberapa kali. Alan benar, ia
terlalu sensitif dan egois.
“Makasih ya Al, aku ngerti sekarang.
Tapi kenapa kamu jadi sepinter itu si?”, Mila tertawa diikuti dengan tawa Alan.
“Aku bukannya pinter Mil, tapi aku cuma
berbagi cerita aja ke kamu”
“Iya iya deh, makasih ya Mas Alan yang
suka berbagi cerita. Hehee”
“Sama-sama Mba Mila. Kamu juga jangan
sungkan kalo punya cerita yang pengen kamu bagiin. Kuping aku siap sedia kok.
Eh iya aku pergi dulu ya, aku ada acara nih. Makasih udah ngijinin aku duduk
disini”
“Okey”, Mila tersenyum manis ketika Alan
berdiri dan mulai berjalan menjauh.
“Oh iya Mil, kalo boleh nanti aku mau
numpang duduk juga, di tempat duduk yang udah disediain sama Allah di satu
tempat yang istimewa. Jangan lama-lama dianggurin, kasian kan.
Assalamu’allaikum Mil”, Alan tersenyum.
Mila berfikir sejenak, apa maksudnya?
“Wa’allaikum salam”
Dan pikiran Mila terus menderu layaknya
motor yang dikemudikan Alan ke arah barat sana. Tempat duduk istimewa yang
disediain Allah? Mila memikirkan satu jawaban, tapi ia malah tersipu sendiri
memikirkan perkataan Alan dan jawabannya sendiri. Ia membenarkan letak
kerudungnya dan berdiri meninggalkan tempat duduk itu.
“Suatu hari pasti ada yang akan benar-benar
menduduki tempat duduk itu kok”, pikirnya.
Tempat duduk di dalam hatinya..
by RLK
Komentar
Posting Komentar