Cerpen - Simpul Rindu
Hujan mulai turun rintik-rintik saat
mobilku terus melaju ke pusat kota kelahiranku. Aku baru saja selesai mengisi
sebuah acara bedah buku ketika mendung mulai bergelayut dan menutupi mentari di
sore ini. Tiba-tiba aku menyadari bahwa jalan ini begitu akrab di ingatanku.
Ya, beberapa tahun yang lalu aku sering berjalan menyusuri jalan ini bersama
mereka, kawan-kawanku.
Aku mengurangi kecepatan laju
kendaraanku dan berhenti tepat di depan bangunan bernuansa putih dan biru.
SMK-ku, tempat seluruh cerita indah itu berawal dan berakhir. Lama aku terdiam
sambil menikmati suara mesin mobilku beradu dengan suara hujan yang mulai
lebat. Hingga aku memutuskan untuk masuk ke dalam sekolah, memarkirkan mobilku
di sisi lapangan yang sepi, dan berlari menuju koridor sekolah. Sambil menyeka
bajuku yang sedikit basah, aku memandang ke sekeliling. Banyak yang berubah
sejak beberapa tahun belakangan aku tidak datang ke tempat ini.
Masih tampak beberapa anak yang duduk di
depan kelas. Merasa sebal karena terjebak hujan saat waktu sudah menunjukkan
pukul empat, beberapa jam setelah sekolah usai. Aku sendiri menikmati saat-saat
ini. Bau hujan, suasana sekolah, bangku-bangku di depan kelas, mading sekolah,
semuanya. Aku seakan kembali ke saat-saat terhangat dalam hidupku. Aku terus
melangkah menuju deretan bangku di salah satu pojok sekolah, tepat di depan
koperasi sekolah, di dekat bangunan sanggar. Ku susuri satu persatu bangku itu,
ternyata masih sama. Disinilah kehangatan itu tercipta setiap harinya. Setiap
hari..
***
“Indonesia,,
Disini aku
dilahirkan
Tumbuh dan
dibesarkan
Oleh cinta ayah
bunda yang penuh ketulusan”
Beberapa bait puisi terus mengalir dari
mulutku secara spontan. Hari itu adalah pengampuan poin Syarat Kecakapan Umum
Penegak Bantaraku yang terakhir, poin 30. Hampir seluruh calon bantara dan
kakak bantara yang sore itu melakukan aktifitas ampu poin di depan sanggar,
turut mendengarkan puisi dadakanku. Sesuai bunyi poin, “Dapat menampilkan satu
macam kegiatan seni budaya bangsa, vokal, tari, baca puisi atau atraksi lain di
hadapan Pramuka atau penonton lain”, maka aku diharuskan menampilkan sesuatu di
depan mereka. Satu-satunya yang dapat aku lakukan adalah membaca puisi, karna
jujur saja aku tidak mempersiapkan apapun untuk pengampuan terakhir ini.
Meskipun puisiku biasa saja, tapi semua
yang menonton bertepuk tangan, sambil tertawa tentunya. Mungkin karena
pembawaanku yang lucu menurut mereka, atau karena kalimat-kalimatnya terdengar
cukup aneh. Yang jelas dua bait pertama puisiku terus menjadi ledekan, bahkan hingga
tahun terakhir sekolah. Hari itu aku menjadi calon bantara pertama di
angkatanku yang berhasil menyelesaikan SKU. Aku telah menemukan sebuah keluarga
sejak semester pertama di masa putih abu-abu.
***
Deretan kursi di depan koperasi menjadi
tempat berkumpul paling favorit bagiku dan teman-teman seusai sekolah. Bahkan
selama tiga tahun, rasanya sayang jika setelah bel pulang aku langsung bergegas
menuju ke terminal dan menunggu angkot yang membawaku kembali ke rumah. Akan
lebih membahagiakan untuk berkumpul bersama sepulang sekolah, meskipun tentu
saja aku akan pulang lebih sore.
“Mey, ada apa tuh di pipi kamu”, kata
Helmi kepada Mey sambil menempelkan jari telunjuknya di pipi kanannya sendiri.
“Apaan si Hel?”, tanya Mey penasaran sambil
menyentuh pipi kanannya juga, yang bersih dan tanpa ada hal apapun disana.
“Disini”, kata Helmi lagi sambil
menyentuh dagunya sendiri dengan jari telunjuk.
Mey mengikuti gerakannya lagi dengan
menyentuh dagunya.
“Disini Mey”, kali ini Helmi menyentuh
hidungnya. Mey kembali mengikuti.
“Disini juga”, Helmi menyentuh
keningnya.
Kali ini Mey tidak mengikuti gerakan
Helmi lagi tapi malah menabok lengan Helmi. Mey baru menyadari bahwa ia
dipermainkan setelah ia mengikuti lelucon Helmi hingga tiga kali. Anak lain
yang ikut mengamati kejahilan Helmi dari deretan kursi di depan koperasi itu
pun tertawa terpingkal-pingkal. Mey, salah satu anak yang paling polos. Dan
Helmi, salah satu anak paling jahil di angkatanku.
***
Beberapa bulan setelah kami resmi
dilantik, kami mulai sibuk mempersiapkan satu even tahunan dari ekskul kami
untuk menyambut siswa baru. Hari itu hari Minggu, sudah seharusnya libur
sekolah. Namun libur di hari libur sepertinya bukan makananku dan teman-temanku
setelah bergabung di ekskul ini. Bahkan hari ini ada jadwal berlatih PBB untuk
persiapan acara itu. Sore mulai menjelang, kami bergegas kembali ke sanggar
untuk bersiap pulang. Sambil beristirahat, tentu saja kami bercengkrama di
deretan bangku itu seperti biasa.
“Eh Jek, kamu kan anggota Pasperda,
berarti udah diajarin banyak tentang PBB dong?”, tanya Helmi pada Joko yang
lebih sering dipanggil Jek itu.
“Iya. Kenapa?”, Joko memang begitu.
Pemangku adat sekaligus koordinator lapangan ini selalu bersikap dan berbicara
secukupnya saja.
“Aku ada variasi gerakan Jek. Aku tebak
kamu belum pernah nyoba. Mau liat?”
“Boleh”
“Tapi aku cuma mau ngasih komando aja,
kamu yang praktek. Gampang kok, karna cuma di mix aja sama PBB dasar”, meski
awalnya Joko menolak, ia akhirnya mau juga berdiri berhadapan dengan Helmi.
Bersiap dengan komando yang akan diberikan laki-laki banyol itu.
“Komando saya ambil alih. Untuk Joko,
siap grak!”, Joko bersikap siap sempurna. Yang lain memperhatikan karena cukup
penasaran juga dengan variasi gerakan baru itu. Barangkali bisa digunakan untuk
pertunjukan tari komando yang akan mereka bawakan di acara besok.
“Hadap kanan grak!”, kaki kiri Joko
melangkah sedikit kedepan dan menyerongkannya 20 derajat, memutar kaki kanannya 45 derajat, lalu
menutup kembali kaki kirinya.
“Hadap kiri grak!”, Joko melakukan
gerakan berlawanan dengan gerakan pertama.
“Balik kanan grak!”, Joko melakukan
gerakan dengan tegas sesuai perintah. Wajar saja dia adalah anggota Pasperda
kabupaten.
“Hadap serong kanan grak!”, Helmi terus
memberi komando.
“Maju jalan!”
“Berhenti grak!”, Helmi tersenyum puas
melihat sang korlap ber-PBB dikomando olehnya
“Okey sekarang variasi gerakan yang aku
bilang tadi. Siap-siap Jek”,
“Siap grak! Hadap kanan hadap kiri balik
kanan hadap serong kanan maju jalan hormaaaaaaaatt grakk!!!”, yang dikomandoi
terlihat kaget dengan komando itu. Komando macam apa itu?
Sedang yang lain tertawa terbahak-bahak.
Helmi memang tidak pernah kehabisan bahan melawak. Sang korlap ingin marah,
namun hanya dapat mendengus kesal melihat semuanya tertawa bersama. Sial si
Helmi, dia ngerjain aku!
***
Kisah-kisah itu terus bermunculan satu
persatu di kepalaku ketika aku duduk sendirian di deretan kursi dekat sanggar
ini. Layaknya tali yang terus diikat membentuk simpul, tali itu menjadi runyam
namun tak pernah habis meski terus disimpul. Semakin runyam hingga menjadi
ikatan yang aku sendiri tak pernah mempelajari bagaimana bentuknya. Simpul
rindu yang tumbuh setiap hari, bahkan sejak saat aku masih bersama mereka dulu.
Tanpa terasa sudah hampir adzan magrib
dan hujan pun sudah berhenti sedari tadi. Kini sekolah ini mulai gelap dan
sepi. Anak-anak yang tadi terjebak hujan sudah pulang. Aku pun memutuskan
kembali ke mobil dan bergegas pulang ke rumah. Baru saja aku menutup pintu
mobilku, aku penasaran tentang satu hal yang sebenarnya sudah tidak ada
fungsinya lagi untuk diingat-ingat. Nomer induk bantaraku. Tapi bukan Rifa
namanya jika membiarkan begitu saja hal-hal yang mengganggu pikiran. Aku
membuka laptopku, berharap ada file-file ambalan yang masih tertinggal disana.
“Mana sih. Masa file-file sebanyak ini
ngga ada yang nyantumin NIB pradana putri”, keluhku ketika belasan menit sudah
berlalu namun tak jua menemukan apa yang aku cari.
“Nah ini dia. 0401/702/RAK/12.
Finally”, aku begitu puas. Siapa sangka hal sesederhana itu bisa membuat aku
meluap di jok kemudi. Aku sangat senang karena bisa menemukan apa yang aku
cari, nomor identitasku ketika masih menjadi bagian dari ambalan.
Ting tong,
HPku berbunyi dari dalam tas. Aku
menutup laptop dan meletakkan di jok samping, segera mengambil HP dan memeriksa
notifikasinya. Chat dari grup whatsapp angkatanku!
Gembul
Guys,
jangan lupa nanti nonton aku stand up di cafe biasa, sekalian reuni sesuai
janji kemaren. Cafe Milkymilk jam 8. Hoping for your coming
15.30
Helmi
Siapp
grak! Maju jalan.
15.31
Joko
Dateng
15.31
Mey
Miss
you guys. Nanti aku dateng bareng Robi juga
15.32
Aku tersenyum. Sepertinya Tuhan baru
saja menjawab rinduku. Chating-chating balasan terus bermunculan namun aku membiarkannya
di jok samping.Aku menyalakan mobil dan melaju ke arah rumah. See you jam 8
nanti kawan-kawan. Simpul-simpul itu akan terlepas dan mengendur ketika bertemu
kalian. Walaupun akan segera mengikat kuat kembali setelah kebersamaan selesai.
Purbalingga, 16 Juli 2016
By Riyan Latifahul Hasanah (0401/702/RAK/12)
Inspired from story of SANKAR 2012
(Satuan Ambalan Jendral Ahmad Yani, Raden Ajeng Kartini SMK Negeri 1
Purbalingga angkatan 2012)
Komentar
Posting Komentar