Cerpen-Tenggelam II
Hari-hariku setelah hari itu terasa
semakin menyenangkan. Ia memberi apa yang aku butuhkan dan inginkan. Perhatian,
pengertian, kebahagiaan. Kami sering bertemu saat weekend, terutama untuk berlatih berenang. Setelah mengenal dia,
aku jadi suka olahraga yang satu itu. Hingga suatu hari ketika aku datang ke
tempat aku dan Evan biasa berlatih, aku melihat ia bersama seorang gadis. Walau
berat akhirnya aku mendekati mereka dan berkenalan dengan gadis itu. Gita
namanya. Evan bilang Gita adalah teman kampusnya yang kebetulan sama dengan
aku, mulai tertarik berenang.
Hampir setiap dua minggu sekali Evan
mengajakku jalan-jalan malam hari. Tak terasa kami sudah kenal selama hampir
tiga bulan. Kami sering bertukar cerita, berbagi pengalaman, bahkan bercerita
masalah pribadi masing-masing. Evan baru saja putus dengan pacarnya saat ia
menolongku waktu itu. Dia tidak pernah menyebutkan nama gadis itu, tapi yang
jelas mereka sudah pacaran selama tiga tahun. Entah kebodohan macam apa yang
singgah di pikiran mantan pacarnya itu hingga ia memutuskan laki-laki sebaik
Evan.
“Harusnya dia ngga nglepasin cowo kaya
kamu Van” kataku pelan sambil tersenyum.
“Mungkin butuh waktu untuk menyadari
suatu hal” ia pun tersenyum.
Suatu hari Evan tiba-tiba meneleponku
dan menyuruhku untuk menemuinya di sebuah tempat perbelanjaan dekat kampusku. Aku
panik, takut suatu hal buruk menimpanya. Akupun segera meninggalkan kelas mata kuliah
Dasar Manajemen dan Bisnis yang seharusnya masih harus aku ikuti satu jam ke
depan.
Sesampainya di sana aku melihatnya
tengah duduk di depan tempat perbelanjaan itu. Sepertinya ia sudah menungguku
dari tadi.
“Evan, ada apa? Eh maaf ya nunggu aku
lama” kataku ketika aku tiba di depannya.
“Eh Vidi. Engga lama kok, kamu dateng
cepet banget malah. Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat” katanya sumringah
sambil menuntun tanganku.
Ia lalu membawaku ke suatu tempat dengan
menggunakan motornya. Motor yang aku bawa ditinggal di tempat perbelanjaan itu.
Evan bilang kami akan kembali lagi nanti.
Ternyata dia membawaku ke sebuah cafe
coklat. Tempatnya sangat indah dan romantis. Hatiku berdebar menerka-nerka apa
alasan Evan membawaku ke tempat seindah ini. Setelah Evan memesan beberapa
suguhan coklat, kami duduk di pojok cafe.
“Ada apa nih kamu bawa aku kesini?”
tanyaku sambil tersenyum lebar.
“Haha nggapapa. Tiba-tiba aja aku pengen
kesini cuman ngga ada temen. Jadi aku ajak kamu deh. Lagian jarang banget ada
kesempatan makan coklat bareng cewe manis” mungkin jika aku memegang kaca, aku
akan melihat wajahku merah merekah. Tersipu akan kata-katanya.
“Haha apa si gombal banget” hanya itu
yang mampu aku katakan.
Setelah menikmati es krim coklat, chocolate
cake dan chocolate banana kami mengobrol. Aku tidak menyesal meninggalkan kelas
manajemen demi memenuhi panggilan Evan. Ia memberiku kebahagiaan yang jelas
hari ini. Dan aku berharap kebahagiaan ini akan berjalan seterusnya.
Sebelum kami berpisah ia mengantarku
kembali ke tempat perbelanjaan tadi. Ia mengajakku ke sebuah toko aksesoris dan
memintaku memilih satu gelang paling cantik yang ada disana. Aku tadinya
mengira gelang itu akan dia berikan kepadaku. Tapi ternyata gelang yang aku
pilih tadi ia bungkus dalam sebuah kotak kecil. Sedang ia memberi sebuah gelang
berbandul menara Eifell yang ia pilihkan sendiri. Walaupun gelang yang aku
pilih indah, tapi pilihan Evan pastilah lebih indah.
“Makasih untuk hari ini Vi. Oiya minggu
depan aku ada lomba renang di tempat biasa. Tadi aku lupa ngasih tau. Tapi aku bakal
seneng banget kalo kamu bisa dateng” begitu SMS yang Evan kirimkan saat aku
baru saja sampai di rumahku. Aku pasti
bakal dateng Van.
**
Lomba renang Evan akan diadakan hari
ini. Aku datang bersama Lisa karna kebetulan kami sama-sama libur kuliah hari
ini. Selain alasan itu, Lisa adalah satu-satunya sahabatku yang tidak terlalu
antusias dengan ketampanan Evan. Sedang yang lain tidak kalah terpesonanya
dengan aku, terutama Nina. Aku merasa jauh lebih aman saja dengan mengajak
Lisa.
“Siap Vi?” goda Lisa sebelum kami
memasuki kawasan kolam renang itu.
“Apaan si Lis” kataku sedikit sebal.
“Ciye yang pas jalan bareng ngarep di
tembak di cafe coklat tapi ternyata engga. Haha” godanya lagi.
“Please deh Lis ngga usah mulai. Diem aja
kenapa si” aku mulai sewot. Lisa hanya tertawa saja. Ya walaupun kata-katanya
tadi sangat benar.
Selama lomba berlangsung aku sangat
antusias. Ini pertama kalinya aku menonton lomba renang sehingga aku kurang
paham dengan peraturannya. Tapi menurutku sangat seru melihat para atlet renang
berlomba agar sampai ke garis finish paling pertama.
Selesai perlombaan aku menemui Evan. Ia
berhasil menduduki peringkat kedua. Walau begitu bagiku ia sangat hebat.
“Hai Van. Selamat ya juara dua. Berarti ntar
aku di traktir bakso nih. Haha” kataku sambil menyalaminya. Begitu juga Lisa.
“Haha ngarep banget di traktir lagi. Kan
kemarin udah” jawabnya sambil tertawa.
Saat kami sedang asyik mengobrol seorang
gadis menghampiri kami. Gita.
“Selamat ya sayang. Nggapapa deh juara
dua. Besok-besok harus juara satu loh” katanya sambil mendekati Evan dan
menepuk pundaknya. Gadis itu memakai gelang yang kau pilihkan hari itu di toko
aksesoris. Sayang???
Aku yang tadinya sangat antusias,
sekarang diam tak bisa berkata apa-apa. Malah Lisa yang tadinya diam mulai
mengobrol dengan mereka berdua. Sepertinya Lisa tahu apa yang aku rasakan. Ia lalu
berinisiatif meninggalkan aku dan Evan dengan mengajak Gita membeli minuman.
“Kamu kenapa si Vi?” tanyanya tiba-tiba.
“Kamu udah jadian sama Gita?” kataku
balik bertanya. Evan mengerti arah pembicaraanku. Ia sangat mengerti. Ia lalu
mengajakku ke sebuah tribun yang sepi lalu mulai berbicara.
“Maaf Vi aku tau aku salah. Tapi aku
ngga bermaksud nyakitin kamu sedikitpun. Gita itu mantan pacarku yang pernah
aku ceritain ke kamu. Setelah apa yang kamu bilang malam itu kalo dia ngga
harusnya nglepasin aku, aku jadi sadar kalo hubungan kami harus aku perjuangin.
Dan ternyata Gitapun berfikiran sama, terus kita balikan lagi di hari kita
pergi ke cafe coklat. Aku seneng banget dan pengen ngucapin makasih ke kamu
dengan cara nraktir kamu. Aku minta maaf kalo apa yang aku lakuin justru
nyakitin kamu”
“Jadi apa maksud perhatian kamu ke aku
selama ini?” tanyaku dengan mata mulai berkaca-kaca.
“Aku selalu nganggep kamu sahabat sekaligus
adekku dari pertama kita ketemu Vi” aku mengusap setetes air dari mataku
sebelum air itu jatuh ke atas pipiku.
“Hmmm gitu. Jadi selama ini aku ngga
sadar kalo aku punya kakak laki-laki sebaik kamu. Kalo gitu aku mau bilang
makasih buat semuanya. Semoga kakakku ini selalu bahagia dan terus bertahan
dengan gadis yang dia sayang” aku mencoba tersenyum manis di depannya.
Sebelum ia sempat menjawab apapun aku
segera pergi. Ia memanggilku beberapa kali, tapi aku tidak menoleh sekalipun. Aku
hanya mengangkat tangan kiriku sambil menyatukan ibu jari dan jari telunjukku. I’m okay. Seperti adegan Nam dan Shone
dalam film Thailand berjudul A Crazy Little Thing Called Love.
Sebelum pulang Lisa mengajakku duduk
sebentar di sebuah taman. Aku menceritakan semuanya kepada Lisa. Menceritakan kekecewaanku
yang ternyata aku buat sendiri.
“Ternyata selama ini aku tenggelam di
kolam yang salah Lis. Mungkin bukan kolamnya yang salah, tapi aku yang salah
memilih kolam. Aku tenggelam di sebuah kolam dimana disana udah ada orang lain
yang tenggelam lebih dalam, lebih dulu dan lebih lama dibanding aku” aku mulai
menangis.
“Evan bener-bener cowo yang baik. Dia selalu
setia sama hati yang udah dia pilih dari awal. Dia juga ngga gampang ngumbar
kata sayang sama orang lain meskipun dia tau aku simpati sama dia. Kata-katanya,
sikapnya, perhatiannya, semuanya terlalu aku anggap lebih. Padahal dia emang
baik sama semua orang. Tapi aku kira itu tanda dia suka sama aku. Sakit Lis
saat sadar kita berharap terlalu tinggi sama seseorang”
“Tapi Evan bener, kita selalu butuh
waktu untuk menyadari suatu hal. Yang salah aku. Waktu yang aku butuhin untuk
menyadari hal itu terlalu lama. Sampai aku tenggelam semakin dalam. Dan saat
waktu itu tiba, aku harus nolong diriku sendiri agar aku bisa kembali ke
permukaan. Dia kakak yang baik. Dan kolam yang sangat baik untuk berenang. Tapi
sayang, itu bukan buat aku” aku mencoba tersenyum,
Lisa tersenyum.
~RLK - Little Dreamer~
15 Mei 2015
Komentar
Posting Komentar