Cerpen - Sebuah Persimpangan Part 1
18
APRIL 2014
Rumah Nenek Sari hari ini terasa lebih ramai dari
biasanya. Ketika di hari-hari biasa rumah ini hanya dihuni oleh Nenek Sari,
Kakek Limi, Bulik Khati dan kedua anaknya, maka hari ini aku, adikku dan
sepupuku semakin meramaikan rumah ini. Di teras rumah ini kami saling
bercengkrama sambil merontokkan biji jagung dari bonggolnya yang terdiri dari
beberapa karung jagung, hasil panen Kakek Limi yang tak lain adalah ayah dari
ayahku. Kebetulan ujian nasionalku di tingkat SMK baru saja usai dua hari yang
lalu, jadi aku memutuskan untuk mengistirahatkan pikiranku di rumah.
Adikku Nisa, anak pertama bulikku Yufi dan sepupuku
Dinda yang saat ini masih kelas 5 SD baru saja pulang sekolah. Sudah jadi
kebiasaan mereka di hari Jumat untuk bermain bersama sepulang sekolah karena
mereka pulang lebih cepat dan libur mengaji. Mereka lebih memilih bermain di
rumah nenek sambil membantu pekerjaannya dari pada bermain di rumahku yang
berada tepat di samping rumah nenek.
Beberapa kali mereka saling bercanda dan bersenda gurau
tentang cerita mereka di sekolah. Anak kedua bulik yang masih duduk di bangku
TK, Tiara hanya mendengarkan saja sambil memasang muka bingung. Kami berlima,
cucu-cucu nenek punya karakter yang berbeda-beda. Aku yang suka jahil, Nisa
yang sangat manja, Yufi yang cuek, Dinda yang mandiri dan Tiara yang sedang
lucu-lucunya. Hari ini benar-benar menghiburku dan menghilangkan semua beban
pelajaranku hanya dengan berkumpul bersama keluargaku ini. Tak akan ada yang
menyangka bahwa hari ini adalah hari terakhirku melihat sebuah senyum yang
istimewa.
Satu
minggu kemudian, 25 APRIL 2014
Satu minggu setelah ujian nasional usai aku mulai
merasa bosan. Hari ini aku berencana untuk pergi bersama bulik ke kecamatan
untuk membuat KTP sekaligus mencari pekerjaan untuk menghilangkan jenuhku selama
menunggu waktu masuk kuliah. Aku sudah berpakaian rapi dan memegang satu map
coklat berisi lamaran pekerjaan ketika sebuah motor berhenti tepat di jalan
raya di samping rumah nenekku.
“Khati, ada kabar buruk. Tadi pagi anak kelas 4, 5
dan 6 pergi jalan pagi ke desa di pinggir sungai, dan barusan aku mendapat
kabar bahwa ada anak yang hanyut”, kata bapak-bapak itu tiba-tiba mengagetkan
aku, nenek dan bulik. Namun saat itu aku masih bisa sedikit tenang dan masih
bisa berpikiran positif bahwa Nisa, Yufi dan Dinda akan baik-baik saja.
“Apa berita itu benar Ti? Sudah kalian tidak usah
jadi pergi. Sekarang susul mereka ke sekolah”, nenek terlihat sangat panik dan
lemas mendengar kabar tiba-tiba itu. Aku bergegas pergi ke sekolah membonceng
bulik, meninggalkan Tiara bersama nenek di rumah. Kebetulan saat itu ayahku
sedang pergi bekerja dan ibuku sedang pergi ke kantor PNPM kecamatan.
Sampai di sekolah kami sangat terperanjat melihat
keramaian yang tak biasa. Orang tua dan wali murid berkumpul di halaman sekolah
dengan wajah cemas. Aku dan bulik lebih cemas lagi saat mendengar kabar yang
menusuk jantung kami.
“Siapa anak yang hanyut itu pak, bu?”, tanya bulik
kepada orang-orang disana.
“Katanya Dinda sama Khana”, saat itu aku benar-benar
lemas. Dadaku berdegup kencang, tanganku gemetar dan mataku mulai terasa panas.
Lalu bagaimana dengan Nisa dan Yufi? Dimana mereka? Meskipun sering kali aku
bertengkar dengan adikku, inilah saat dimana aku merasa dia sangat-sangat
berharga.
Kami menunggu dan terus menunggu anak-anak yang lain
kembali ke sekolah, sedangkan bulik menyusul mereka ke sungai menggunakan
motor. Saat beberapa rombongan anak berseragam olahraga merah muda terlihat
berjalan dari jalan setapak yang menuju ke sungai, aku segera berlari ke arah
mereka. Aku sangat lega melihat Nisa dan Yufi berjalan beriringan dengan
teman-temannya dan kakekku yang sengaja menjemput mereka ke sungai segera
setelah mendengar kabar itu. Aku memeluk adikku erat sambil menangis.
“Dinda mba, Dinda hanyut”, kata Nisa sambil terus
menangis. Matanya terlihat sangat sembab, bajunya pun basah kuyup. Aku tak
menjawab apapun sambil terus menangis dan menuntunnya ke halaman sekolah.
Di halaman sekolah anak-anak gadis terus menangis
saat mereka menceritakan kejadian yang baru saja terjadi tepat di depan mata
mereka. Terlebih saat mereka masuk ke kelas hendak mengambil tas masing-masing,
mereka menangis lagi melihat tas Khana di kelas 6 dan tas Dinda di kelas 5
masih berada di bangku mereka masing-masing.
“Ini tasnya Khana. Ini tasnya Khana”, mereka
menangis lagi dan terus menangis. Meskipun mereka masih kelas 5 dan 6 SD, rasa
simpati dan persahabatan mereka telah sangat membekas. Bersama di sekolah
selama bertahun-tahun membuat mereka sangat takut kehilangan dua sahabat
mereka.
Ketika anak-anak diminta pulang untuk beristirahat,
aku pun mengantarkan Nisa dan Yufi pulang bersama nenek dan Tiara yang baru
saja menyusul ke sekolah. Aku mengurus adikku yang basah kuyup, mengambilkannya
baju ganti dan menyiapkan makan siangnya. Aku tahu beban kesedihan adikku lebih
dalam dari siapapun karena Dindalah sahabatnya, keluarganya dan teman
sebangkunya selama ini.
**
Usai mengurus kedua adikku, aku segera kembali ke sekolah.
Tepat di saat itu Budhe Imah, ibunya Dinda telah berada di depan rumah di
samping sekolah, dengan wajah tegang ia menelepon Pakdhe yang sedang bekerja di
luar kota. Awalnya ia tidak menangis, namun beban dan keresahan yang
menyelimuti hatinya membuat matanya mulai berlinang. Ia bersikeras hendak
menyusul ke tepi sungai, memastikan keadaan anak keduanya baik-baik saja, namun
tentu saja kami semua melarangnya. Tangis budhe semakin pecah, dan akhirnya
kami membawa ia masuk ke rumah itu untuk menenangkannya. Aku teringat dengan
kakaknya Dinda, Nurul yang hari ini ternyata berangkat ke sekolah untuk
mengurus administrasi kelulusan. Aku segera mengirimkannya pesan singkat.
“Rul, kamu dimana? Cepet pulang ya. Kalau sudah dekat
SMS, nanti dijemput bulikku”, beberapa saat kemudian ia membalas pesanku.
“Iya ini aku sudah di angkot. Memangnya ada apa?”,
ternyata memang belum ada yang memberinya kabar. Namun aku tidak membalas
pesannya lagi hingga ia meminta untuk dijemput di pangkalan angkot. Bulik yang
baru kembali ke sekolah segera berangkat untuk menjemput Nurul. Tepat disaat
itu ibuku pulang dari kantor kecamatan. Belum sempat ibu memarkirkan motornya
dengan baik, ibu sudah menangis dan hampir pingsan. Dengan cekatan aku
menangkap tubuh ibu yang lemas dan memapahnya ke halaman sekolah.
“Nisa baik-baik saja bu. Dia sekarang sudah di
rumah”, terangku sambil menangis. Ibuku hanya diam sambil terus menangis dan
berjalan sekuat tenaga. Ternyata ibu sudah mendengar kabar buruk ini saat
dijalan tadi.
Beberapa menit kemudian bulik sampai di sekolah
dengan membonceng Nurul di belakangnya. Bulik langsung menuju ke rumah dimana
budhe tadi berada. Nurul dengan wajah bingungnya masuk ke rumah tersebut.
Beberapa saat kemudian ia menangis histeris mengalahkan tangisan ibunya.
Adiknya tercinta baru saja terkena musibah. Satu hal yang tak pernah ia
bayangkan akan terjadi setiba-tiba ini.
Setelah melihat budhe, Nurul dan ibu yang mulai
membaik aku pulang ke rumah bersama bulik. Wajah bulik tak kalah sedihnya
dengan kami, pun nenek dan Tiara yang sebenarnya masih belum mengerti apa-apa. Tepat
saat waktu sholat Zhuhur tiba aku mengambil air wudlu, mengenakan mukena dan
mulai mengerjakan sholat. Usai sholat aku mengangkat tangan dan kepalaku untuk
berdoa sambil terus berlinang air mata.
“Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Memberi Pertolongan,
berikanlah pertolongan kepada adik-adik kami, Dinda dan Khana dari bencana.
Engkaulah yang Maha Menyelamatkan, maka selamatkanlah Dinda dan Khansa, dan
biarkan mereka kembali berkumpul dengan kami dalam keadaan sehat wal’afiat”,
aku terus memohon kepada-Nya untuk keselamatan Dinda. Aku benar-benar takut,
Jumat kemarin akan jadi pertemuan terakhir kami, saat dimana senyuman manis dan
polosnya bisa aku lihat. Aku menyesal dan menyadari betapa aku menahan untuk
menunjukkan kasih sayangku kepadanya sebagai saudara.
**
Usai sholat aku dan bulik kembali ke sekolah lagi.
Dan aku dibuat terkejut saat tahu ibu telah menyusul ke sungai dengan berjalan
kaki menyusuri jalan setapak, bersama Kakek Arji, ayah dari ibuku. Aku khawatir
dan sempat ingin menyusul, namun dicegah oleh orang-orang yang ada disana. Aku
lebih dibutuhkan disini, menemani Nurul yang masih terus menangis dan mencoba
menenangkannya.
Saat hari menjelang sore aku baru diperbolehkan
pergi menyusul ke sungai dengan membonceng bulik melewati jalan raya yang cukup
rusak. Sesampainya di sana ternyata keadaan lebih ramai dari yang aku
bayangkan. Banyak orang menonton di pinggiran sungai yang lebarnya hampir
mencapai sepuluh meter itu. Airnya yang coklat dan arusnya yang cukup deras
membuatku kembali teringat Dinda. Bagaimana keadaannya sekarang? Sudah
berjam-jam sejak ia dikabarkan hanyut pagi tadi. Dan hingga kini belum
ditemukan tanda-tanda keberadaanya.
Aku ikut menunggu di tepi sungai, duduk dan terus
mengamati orang-orang yang mencoba membantu mencari Dinda dan Khana dengan
menyelam di sungai yang cukup dalam itu. Namun hingga petang hampir menjelang
semuanya masih nihil. Kakek Arji sudah lebih dulu pulang ke rumah bersama
bulik. Sedangkan aku mencoba membujuk ibu untuk pulang, namun tak berhasil.
“Ayo pulang bu, kita tunggu kabar dirumah saja
sambil istirahat”, bujukku kepada ibu. Namun ibu masih bersikeras ingin menunggu
di sana sampai Dinda ditemukan, sambil terus berdoa ibu menitikkan air mata
sesekali. Akhirnya aku pulang bersama ayahku yang sudah berada disana sejak
siang tadi, berjalan melewati sawah-sawah dan jalan setapak.
Saat malam aku menginap di rumah nenek dengan
adikku, ibuku masih terus menunggu di tepi sungai, sedangkan ayah kembali
menyusul ke sungai setelah beristirahat beberapa saat. Hari itu adalah hari
yang melelahkan dan penuh dengan air mata. Hari yang tidak akan pernah bisa aku
lupakan, bahkan hingga kini.
Baca Part 2 klik disini
Komentar
Posting Komentar