Cerpen - Sebuah Persimpangan Part 2
Dinda Annisa Fitriani adalah gadis kecil berparas
cantik dan berkulit putih bersih. Ia sosok yang mandiri dan punya hati yang
kuat meskipun sering mengalami hal kurang menyenangkan akibat ulah
teman-temannya. Dari cerita-cerita yang aku dengar, Dinda dengan kepolosannya
sering dibully oleh salah seorang temannya di kelas. Namun dibalik itu semua
Dinda adalah gadis yang santun dan penyayang. Aku menyayanginya, tepat di hari
itu aku baru benar-benar menyayanginya.
Pagi hari aku menyusul lagi ke sungai dengan
mengendarai motor sendirian. Namun karena jalan yang sulit dan kemampuan
mengendarai motorku yang masih belum cukup baik membuat aku terjatuh. Di sebuah
tanjakan yang sulit tiga motor sekaligus berguling-guling ke bawah secara
berurutan. Akhirnya aku memilih menitipkan motorku di depan rumah seseorang dan
melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Air mata yang tadinya sudah berhenti akhirnya
kembali mengalir saat aku sampai di tepi sungai. Ya Allah, bagaimana keadaan
Dinda? Dimana dia Ya Allah? Pagi tadi sebelum aku datang, Khana telah ditemukan
dalam keadaan meninggal dunia. Aku takut hal serupa terjadi kepada Dinda. Aku
duduk disamping ibu saat menyadari ibu jari kakiku berdarah akibat jatuh dari
motor tadi. Namun aku berusaha menutupinya dan berjalan ke samping aliran air kecil
di tepi sungai untuk membasuh darah yang mengalir disana.
Tim SAR sudah datang sejak malam kemarin dan terus
mencari dengan dibantu warga sekitar. Saat itulah aku melihat salah satu orang
dari anggota tim SAR yang aku kenal, namanya Mas Anjar. Dia adalah salah satu
pengurus Dewan Kerja Cabang pramuka di kotaku sekaligus alumni pramuka dari
SMKku. Aku mendekatinya dan menyapanya.
“Mas Anjar”, sapaku sambil mengulurkan tangan.
“Loh Riyan. Kenapa kamu bisa ada disini?”, tanyanya
sedikit kaget sambil menjawab uluran tanganku.
“Sepupuku mas. Dia salah satu korban yang masih
belum ditemukan. Tolong ya mas, tolong cari dia”, jawabku sambil menahan air mata
sekuat tenaga.
“Iya Yan, yang sabar ya. Kami dari tim SAR akan
terus mencari hingga sepupumu ditemukan.”
Pagi itu keadaan di tepi sungai tidak lebih sepi
dari kemarin. Orang-orang terus berdatangan, entah karena simpati atau hanya
sekedar penasaran. Pakdheku sudah pulang semalam dan kini berada di rumahnya
bersama budhe, Nurul dan kakek. Pakdheku berpikir keras bagaimana caranya agar anak kesayangannya itu
segera ditemukan, entah dalam keadaan bernyawa ataupun tidak.
Berbagai cara dilakukan oleh orang-orang. Mulai dengan
menggunakan pelampung untuk berenang, menggunakan alat selam untuk mencoba
mencapai dasar sungai yang gelap, berjongkok di atas batu di tengah sungai
kalau-kalau jenazah mengapung dan hanyut, hingga menggunakan bantuan
supranatural dengan menghanyutkan beberapa baju milik korban dan memasang
sesaji. Ibuku sendiri masih terus mengamati sungai sambil duduk di atas batu
cadas di tepi sungai. Di sebelah kanan sana ada sebuah persimpangan sungai,
mirip tikungan di jalan raya. Disanalah Dinda hanyut ketika mencoba
menyeberang. Aliran sungai yang cukup deras di titik itu dan batu-batu yang
licin membuat ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Nisa sendiri saat itu
tengah bergandengan tangan dengannya, namun kuasa Allah mampu menyelamatkan
adikku tercinta itu.
Pukul 10.00 akhirnya hati ibu luluh. Ibu bersedia
untuk pulang ke rumah bersamaku dan ayah. Aku sangat kasihan melihat ibu yang
terlihat sangat kelelahan dan sedih. Kami berjalan beriringan melewati jalan
setapak dengan rasa sedih yang masih terus menebal di hati kami masing-masing.
**
Beberapa saat setelah kami sampai di rumah, kami
menerima kabar bahwa Dinda telah ditemukan. Orang-orang melihat tubuhnya
mengapung tepat di depan tempat ibu duduk tadi. Rasanya seperti Dinda tidak
ingin buliknya melihat bagaimana ia diangkat dalam keadaan kaku tak bernyawa
dari atas sungai.
Setelah menerima kabar kami segera menuju ke rumah
budheku, menunggu jenazah Dinda diantarkan dengan ambulans setelah dilakukan
otopsi ringan. Saat jenazah sampai di rumah air mata kembali mengalir di pipi
semua orang. Terlebih saat melihat tubuh kaku saudaraku ini dibaringkan di atas
dipan. Aku hanya melihat dan menyentuh tangan dinginnya sekilas. Wajah akrab
itu kini dalam keadaan kaku, dingin, pucat dan tak lagi bernyawa. Baju olahraga
berwarna merah muda yang ia kenakan penuh dengan pasir sungai. Dinda sayang,
betapa Allah sangat menyayangimu dan menginginkanmu segera berada di pelukannya
yang indah.
Beberapa saat kemudian almarhumah dimandikan. Aku sendiri
ikut menyaksikan bagaimana tubuhnya yang cukup gemuk itu dibasuh dan diberi
sabun oleh budhe dan tetanggaku. Rasanya tak tega melihat tubuh itu kini
membiru, tanda bahwa tak ada lagi kehidupan disana. Usai dimandikan dan dikafani
almarhumah dibaringkan kembali di atas dipan. Kami segera menyolatinya dan
membacakan Yasin berkali-kali sambil menunggu keluarga dari Jakarta dan Semarang
sampai. Saat itu Nisa, Yufi dan teman-temannya juga datang mengirimkan doa
untuk sahabat yang nasibnya tak seindah mereka. Namun hingga hari menjelang
siang, Embah (nenekku dari ibu) belum juga sampai dari Jakarta. Akhirnya keluarga
sepakat untuk segera memakamkan Dinda tanpa menunggu Embah lagi.
Kami mengiringi almarhumah dengan sholawat yang tak
putus. Iring-iringan begitu banyak, menandakan banyaknya orang yang peduli
terhadap sepupuku ini. Langkah-langkah kaki kami melewati jalan yang cukup jauh
ini ibaratkan doa kami yang terus mengalir untuk almarhumah, Dinda kami yang
amat kami cintai.
Sampai di pemakaman ternyata Khana telah selesai
dimakamkan. Kami memulai prosesi pemakaman Dinda dengan diiringi isak tangis
pengiring jenazah. Ibuku pun masih terus menangis, berbeda dengan budhe yang
terlihat lebih tegar. Tepat disaat kubur baru saja ditutup dengan tanah, Embah
datang bersama adik-adik ibu. Embah menangis sejadi-jadinya, melihat cucu
kesayangannya telah berada dua meter di dalam tanah. Tanah merah dengan taburan
bunga ini adalah tempat peristirahatan terakhir anggota keluarga kami tercinta.
Dia yang senyumnya dan tawanya terus terngiang-ngiang di telingaku setiap kali
aku mengingatnya, Dinda Annisa Fitriani.
**
4
APRIL 2016
Hampir dua tahun setelah persimpangan sungai itu
merebut salah satu sumber keceriaan keluarga kami. Tapi aku yakin, Allah punya
tempat yang sangat indah yang sudah Dia siapkan untuk Dinda kami. Tempat yang
jauh lebih membahagiakan dibandingkan sekolahnya, tempat yang jauh lebih hangat
dibanding kasih sayang keluarganya, tempat yang jauh lebih menentramkan
dibanding rumahnya.
Terkadang kita baru menyadari bahwa kita memiliki
satu hal yang berharga saat hal itu telah hilang dan terenggut. Tapi kini, lama
setelah kehilangan itu berlalu, bukan saatnya lagi untuk bersedih. Namun inilah
saatnya untuk kembali merajut senyuman, berbahagia seperti saat kehilangan itu
belum terjadi, tanpa merasa yang telah hilang sudah tak perlu disayangi. Karna
keluarga tetaplah keluarga, sejauh apapun bentang ruang memisahkan, selama
apapun bentang waktu telah menghentikan kebersamaan itu. Karna dia Dinda kami,
Dinda yang amat kami sayangi.
Purwokerto, 3 - 4 April 2016
by RLK
by RLK
Ditulis dari kisah nyata, ditulis dengan air mata
yang terjatuh sesekali, ditulis tanpa maksud membangkitkan kenangan kelam,
ditulis untuk mengingatkan lagi betapa saat itu kami menyayanginya.
Baca Part 1 klik disini
Komentar
Posting Komentar