Review dan Kumpulan Novel MEMANG JODOH
DETAIL BUKU
Penulis : Marah Rusli
Tahun : 2013
Genre : Novel Biografi
Penerbit : Qanita
Cover : Softcover
Tebal : 544 halaman
Cetakan : Original
Harga : Rp 35.000,- (April 2020 – Event Out
of The Boox Online)
Keterangan : Cover Edisi III Cetakan I, Februari 2017
REVIEW
Memang Jodoh, merupakan
novel terakhir dari penulis roman “Sitti Nurbaya”. Beliau adalah Marah Rusli,
yang digelari sebagai Bapak Roman Modern Indonesia oleh H.B. Jassin. Novel ini
merupakan kisah semiautobiografi Marah Rusli, sebuah karya klasik yang hilang
dari ranah sastra Indonesia.
Sejujurnya saya sendiri
belum pernah membaca novel Sitti Nurbaya. Namun sosok bernama Sitti Nurbaya itu
telah lekat di ingatan saya, bahkan di ingatan kebanyakan masyarakat Indonesia,
sebagai sosok perempuan yang nasibnya terikat pada perjodohan. Nama Sitti
Nurbaya itulah yang akhirnya menjadi alasan saya membeli novel tebal ini di
event OOTB online bulan April 2020 lalu.
Karya besar seperti novel
Sitti Nurbaya tentu dilahirkan oleh sosok penulis yang luar biasa pula.
Meskipun saat itu saya tidak mengenal penulisnya, namun saya tertarik untuk
menjajal menikmati karya klasik dari salah satu sastrawan besar di Indonesia
ini. Dari novel ini saya bisa melihat bahwa bahasa Indonesia dahulu dan
sekarang telah berubah. Secara penulisan, meskipun tata bahasanya berbeda
dibandingkan bahasa baku saat ini, namun secara umum novel ini masih nyaman
dibaca dan mudah dipahami.
Kisah yang dituliskan di
novel ini sejatinya adalah perjalanan hidup dari sang penulis sendiri, yang
digambarkan oleh sosok bernama Marah Hamli. Kejadian yang dituliskan dimulai
sekitar 100 tahun yang lalu, yaitu sekitar tahun 1911 ketika Marah Rusli
menikahi Raden Ratna Kencana. Sejatinya novel ini adalah hadiah pernikahan
ke-50 dari Marah Rusli untuk istrinya, yang tepat diperingati pada 2 November
1961.
Dari alur cerita, wawasan
saya bertambah mengenai adat dan tradisi Minangkabau yang terjadi di Padang
sekitar 100 tahun yang lalu. Saat itu adat pernikahan Padang masih sangat kuat,
apalagi bagi sosok keturunan bangsawan seperti Marah Rusli. Adat Padang
mengharuskan dia menikahi perempuan sesama suku Padang, namun dia memilih jalan
hidupnya sendiri dengan menikahi gadis Sunda. Padahal bagi adat Padang, menikah
dengan perempuan diluar suku Padang dinilai suatu kehinaan.
Baik Marah Rusli maupun
istrinya sama-sama meyakini bahwa perjodohan mereka adalah sesuatu yang telah
digariskan takdirnya. Meskipun lika-liku perjalanan rumah tangga cukup berat, dihalangi
oleh adat dan tradisi, namun pada akhirnya Marah Rusli berhasil membuktikan
bahwa pernikahan yang ia pilih bisa membawanya kepada kebahagiaan dan
kesuksesan.
Karakter yang saya garis
bawahi dari sosok Marah Rusli adalah kesetiaannya yang tak tergoyahkan. Meski
berkali-kali dia dihadapkan pada tuntutan adat untuk berpoligami, ia tetap tak
goyah dengan prinsipnya. Dengan tegas dia menolak adanya poligami, dan tetap
memilih hidup dengan satu istri selamanya. Sebuah prinsip yang akhirnya
menjadikannya terbuang dan tak diakui lagi dari negerinya.
Buku setebal 544 halaman
ini memang membutuhkan cukup banyak semangat dan tekat untuk menyelesaikannya.
Saya sendiri membutuhkan waktu hampir 2 minggu untuk membaca hingga tuntas. Dan
sepanjang buku dari awal hingga akhir, kita akan menemukan satu pokok
permasalahan yang sama, yaitu “pernikahan”.
Ya, karna sesuai dengan
tujuan penulis menuliskan novel ini, adalah untuk mengenang 50 tahun lika-liku
pernikahannya dengan sang istri, yang dipenuhi banyak warna dan tantangan.
Namun meski terkesan monoton, “pernikahan lagi, pernikahan lagi”, namun yang
saya rasakan ketika membaca buku ini adalah penasaran untuk terus melanjutkan
kisah di bab selanjutnya. Entah karena dorongan subyektif atau memang kisah
yang menarik, saya sendiri tidak bisa memastikan.
Sebagai salah satu karya
klasik Indonesia yang pernah saya baca, menurut saya novel ini sangat layak
dibaca untuk menambah wawasan kita mengenai sastra di Indonesia. Novel ini akan
memuat kita membaca sastra yang dituliskan 50 tahun lalu, dan membandingkannya
dengan sastra saat ini. Saya sendiri bukan orang yang ahli di bidang sastra,
jadi hanya menyimpulkan dari sisi pembaca awam yang sekedar menjadi penikmat,
bukan pemerhati.
Akhir kata semoga kisah
pernikahan yang saya baca sepanjang buku ini menjadi pelajaran berharga bagi
saya kedepannya. Belajar dari pengalaman orang lain, mengambil sisi baiknya,
untuk diterapkan di dalam kehidupan kita sendiri.
Salam literasi.
KUTIPAN
Kakekku sangat mencintai
dan menghormati nenekku. Tidak pernah aku mendengar bentakan sekecil apa pun
terhadap nenekku. Beliau selalu bertutur sopan dan santun, bahkan menurutku
sedikit formal.
- Rully Roesli, cucu Marah
Roesli -
(Hal. 9)
Semakin hebat berjuang,
semakin nikmat kemenangan yang didapat.
(Hal. 19)
Apakah ada yang kekal di
dunia ini? Nyawa dengan badan saja, yang sedemikian rapat hubungannya, pada
suatu ketika akan berpisah juga, seperti dua benda yang tak pernah terhubung.
(Hal. 25)
Yang tidak mampu dan tak
dapat meninggalkan tanah airnya, bodohlah dia, walaupun dia pandai dan
berbakat. Inilah salah satu sebab banyak pemuda kita meninggalkan tanah airnya.
(Hal. 27)
Harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan.
Mendengar guntur di langit, air di tempayan dicurahkan. Membuang yang banyak untuk mendapat yang sedikit, dan
mencari yang jauh untuk mendapat yang dekat.
(Hal. 33)
Hujan emas di negeri orang,
hujan batu di negeriku, tetap lebih baik negeriku sendiri.
(Hal. 37)
Mana yang baik dari yang
tua harus tetap dipegang, tetapi yang tak dapat diikuti lagi harus
ditinggalkan. Dari yang muda pun demikian. Mana yang baik harus diterima,
tetapi yang merugikan harus ditolak.
(Hal. 57)
Jika ada sesuatu yang patut
dihargai pada dirinya adalah kelaki-lakiannya, bukan kemuliaan atau
kebangsawanan keluarganya.
(Hal. 60)
Suami-istri hendaknya
merupakan sebuah tubuh yang walaupun agak berlainan bentuk, sikap dan tugasnya
tetapi satu tujuannya.
(Hal. 63)
Adat dunia balas-berbalas,
adat hidup tolong-menolong.
(Hal. 83)
Lebih baik mati berkalang
tanah, daripada hidup bercermin bangkai.
(Hal. 85)
Permata yang mahal harganya
itu hendaklah diikat dengan mas yang tinggi mutunya, supaya bertambah cemerlang
sinarnya. Jika diikat dengan tembaga, ikatan itu bukannya akan menjadi sia-sia
belaka, tetapi justru akan menurunkan derajat permata itu.
(Hal. 86)
Pangkat dan jabatan tak
seberapa menarik hati saya, karena tak selama-lamanya membawa kesenangan hati.
Kemuliaan akhirat, lebih daripada kejayaan dunia.
(Hal. 90)
Sebenarnya saya kurang suka
kawin dengan orang seberang, sebab banyak kabar yang kurang sedap yang saya
dengar tentang mereka. tetapi, kalau memang telah jodoh saya, tentu tak dapat
saya tampik.
(Hal. 110)
Sungguh ganjil perjodohan
manusia! Seorang dari utara dan seorang dari selatan. Tetapi mengapa pula
takkan mungkin? Peribahasa telah mengatakan: garam di laut, asam di darat,
bertemu dalam kuali.
(Hal. 117)
Sabar. Sehari-hari sehelai
benang, yang kutenunkan dengan benang; akhirnya akan menjadi juga sehelai
selendang, yang akan menyebabkan aku berdendang.
(Hal. 161)
Siapa yang bisa mencegah
perkawinan ini, apabila memang jodohnya telah ke sana?
(Hal. 231)
Mengapa dia menepuk air di
dulang sehingga mukanya sendiri pun menjadi basah? Bukankah sepatutnya dia yang
harus menyembunyikan dan menutup sekalian yang boleh menghinakan keluarga kita?
(Hal. 247)
Kita, makhluk yang lemah
ini tak dapat membantah kehendak Tuhan Yang Mahakuasa. Kita harus menerima
untung nasib kita yang telah ditetapkan di Lauh Mahfuz, dengan tulus dan ikhlas
dan rela hati. Kita tak tahu, apa hikmah yang tersembunyi di dalam suatu
pemberian Tuhan, yang kita rasakan tak baik atau suatu penderitaan sekalipun.
Yang harus kita yakinkan adalah bahwa Tuhan itu tidak berbuat sesuatu kesalahan
atau kejahatan atas hamba-Nya.
(Hal. 250)
Betapa besarnya onar yang
dapat ditimbulkan oleh harta dunia, yang disertai oleh istri yang banyak.
(Hal. 281)
Laki-laki yang telah
beristri, harus dapat memberi nafkah istrinya sendiri; tak patut meminta
pertolongan orang lain untuk itu. Kalau berani kawin, dia harus dapat
menanggung segala akibat perkawinan itu dan dapat memenuhi kewajibannya sebagai
seorang suami terhadap istrinya.
(Hal. 297)
Tetapi dengan hati yang
tetap dan tabah, disongsongnya semua ombak dan gelombang yang menghadang di
jalan perjodohannya dan diterimanya untung nasibnya yang diyakininya memang
telah ditakdirkan Tuhan dengan sabar dan tawakal.
(Hal. 298)
Sebab saya tak bisa dan tak
suka beristri banyak.
(Hal. 353)
Selagi seorang laki-laki
belum dapat melakukan kewajibannya terhadap anak istrinya, belum patut dia
beristri dan beranak.
(Hal. 355)
Bagaimana aku dapat bekerja
dengan baik untuk bangsa dan negara, kalau akau selalu dibisingkan dengan
perkara kawin saja? Sedangkan, hatiku rasanya penuh cita-cita, untuk
memperbaiki yang belum sempurna dan menambah yang masih kurang.
(Hal. 375)
Disinilah nyata bagi saya
kebenaran perkataan yang mengatakan bahwa Tuhan tidak berbuat sesuatu yang tak
baik, atau sesuatu yang sia-sia. Segala perbuatan-Nya semata-mata menuju kepada
kebaikan juga, walaupun tidak selamanya dapat kita rasakan atau kita pikirkan.
(Hal. 407)
Jika pendek umur kita,
kitalah yang terlebih dahulu akan diusung anak cucu kita ke liang lahat, tetapi
jika panjang umur kita, kitalah yang akan mengusung ke tempat peristirahatannya
yang akhir, sampai kepada cicit kita sekalipun.
(Hal. 503)
Top 10 Titanium Max Trimmer - Tioga, Calif. - T-Tech
BalasHapusTitanium titanium mens wedding band Max Trimmer titaum offers top grade high quality materials, premium quality materials, titanium anodizing and quality titanium white engineering tools to titanium ore terraria help you build