Review dan Kumpulan Kutipan Buku ARAH MUSIM
DETAIL BUKU
Penulis : Kurniawan Gunadi
Tahun : 2019
Genre : Antologi Prosa
Penerbit : Bentang
Cover : Softcover
Tebal : 188 halaman
Cetakan : Original
Harga : Rp 44.250,- (Juli 2020 – Event
Komidi Putar Mizan)
Keterangan : Cover Cetakan III, Februari 2020
REVIEW
Tahun 2016, saat saya menjabat sebagai ketua Senat Mahasiswa di kampus saya (sebuah kampus swasta di Purwokerto), saya menerima undangan dari Unit Kegiatan Islam yang ada di kampus saya. Undangan acara yang saya terima bertajuk “Talkshow Generasi Kreatif Membangun Bangsa” yang mengundang 2 orang pembicara muda.
Pembicara pertama adalah salah satu dosen di kampus saya. Selain sebagai dosen, beliau juga praktisi dalam bidang SEO (search engine optimizer), dan menjadi salah satu dosen yang banyak diidolakan terutama oleh para mahasiswi.
Pembicara kedua, seorang laki-laki muda berperawakan cukup kecil, seorang penulis buku. Kala itu saya tidak terlalu mengenal beliau, namun dari talkshow yang saya ikuti, saya menjadi cukup tertarik dan kagum dengan pencapaian beliau dalam menulis buku, bahkan saya sempat mengajukan beberapa pertanyaan kala itu. Beliau adalah Kurniawan Gunadi, penulis buku yang akan saya bahas di postingan kali ini.
Mas Gun, begitu beliau disapa, awalnya menuliskan buku secara indie. Buku “Arah Musim” yang akan saya bahas, merupakan buku pertama yang Mas Gun terbitkan melalui penerbit mayor bersama dengan Bentang Pustaka. Cukup lama buku Mas Gun masuk ke dalam wishlist saya, hingga akhirnya Juli 2020 saya membeli buku ini, dan selesai membacanya pada Oktober 2020 (biasa ditumpuk dulu, hehe).
Dan kesan saya atas buku ini benar-benar bagus. Buku ini bukan novel yang menceritakan kisah seseorang dengan alur yang mengalir, buku ini berisikan tentang prosa, tulisan, renungan, dan apa pun itu, yang dibagi menjadi 6 bab. Arah Muslim 1 hingga Arah Musim 6 terdiri dari judul-judul yang isinya hanya beberapa paragraf yang panjangnya hanya terdiri dari setengah halaman, satu halaman atau satu setengah halaman. Buku yang kaya dan membuat banyak perenungan.
Mengapa saya bilang ini
buku yang kaya?
Karena dari setiap judul yang ditulis, semua isinya menuliskan curahan hati untuk setiap masalah dan tema yang berbeda. Misalnya, mengenai perjuangan, penantian, penyesalan, orang tua, keluarga, kegagalan, kesabaran, dan banyak hal. Setiap tulisan itu lah yang menjadi media bagi saya untuk ikut merenung dan meresapi setiap paragraf yang Mas Gun tuliskan.
Mas Gun menuliskan buku ini dengan cara yang manis sekaligus menggugah. Saya cukup kagum, tulisan-tulisan sehalus dan seromantis itu dapat dituliskan oleh seorang laki-laki, dimana saya sebagai perempuan yang “katanya” suka nulis saja belum tentu bisa menciptakan baris-baris kalimat seperti itu.
Dan akhirnya buku ini menjadi salah satu buku favorit saya. Buku yang manis. Buku yang kaya. Buku yang penuh dengan kutipan inspiratif. Buku yang membawa saya pada pemikiran dan kesadaran. Dan buku ini juga saya rekomendasikan untuk kamu baca.
Ada harap terselip, semoga
tulisan-tulisan curcol saya yang suka nempel dimana-mana (story Whatsapp,
caption Instagram, tweet di Twitter, kalimat-kalimat waktu mereview buku,
catatan di handphone atau hanya sekedar lewat di kepala) bisa menjadi karya
seperti ini di kemudian hari. Aamiin.
KUTIPAN
Berharga atau tidaknya
sesuatu, tidak bergantung pada sulit tidaknya sesuatu itu berhasil kita raih.
Tidak juga bergantung pada apa kata orang lain tentang hal itu.
(Hal. 0)
Sebenarnya tidak penting
apakah kita dimakamkan secara berdekatan atau tidak karena tidak ada artinya
dikumpulkan dalam satu kompleks permakaman kalau di akhirat kita
tercerai-berai. Lebih baik, bukankah kita berjuang untuk bisa berkumpul kembali
sebagai keluarga yang utuh di surga nanti?
(Hal. 4)
Aku tahu, berandai takkan
pernah mengantarkanku barang sejengkal pun ke tujuan.
(Hal. 10)
Coba nanti, kamu tanyakan
baik-baik kepada mereka: ingin dibahagiakan dengan cara yang seperti apa?
(Hal. 28)
Tidak ada keputusan besar
yang mudah untuk diambil. Pasti akan melewati keresahan, ketakutan,
kekhawatiran, segala hal yang membuatmu tak kunjung sampai tujuan. Pasti tidak
mudah membuat keputusan besar untuk hal-hal yang amat berarti dan berharga.
(Hal. 30)
Aku meyakinkan diriku
sendiri bahwa tak perl ada yang disesali sebab semua sudah terjadi. Dan, semua
ini adalah keputusan yang aku ambil secara utuh. Hidup ini akan tetap dan terus
berjalan.
(Hal. 47)
Akhirnya kita menyadari,
bahwa sabar itu tak hanya bicara tentang apa yang kita perjuangkan. Tapi juga tentang
apa yang harus kita korbankan. Sebab, kita sama-sama percaya bahwa ke depan,
pilihan-pilihan ini akan berakhir baik. Sebagaimana kita percaya bahwa dengan
siapa pun kita memilih teman di perjalanan, sepanjang dia adalah orang baik
maka jangan ada kekhawatiran.
(Hal. 57)
Adakalanya kita harus
mengalah pada angin, biar kita diempas dan tak perlu memikirkan ke mana kita
jatuh. Adakalanya kita harus mengalah kepada arus, biar kita mengalir ke
tempat-tempat jauh yang tak kita tahu.
(Hal. 74)
Aku mendengarmu habis hujan
berturut-turut, kemudian aku datang, kamu reda.
(Hal. 82)
Nanti, saat kita sudah
tumbuh dewsa, orang tak lagi melihat apa yang kita bicarakan, tetapi apa yang
kita perbuat. Semakin bertumbuh, semakin kita memahami bahwa sedikit bicara itu
jauh lebih menyenangkan. Begitu banyak orang yang berusaha menjelaskan siapa
dirinya dengan kata-kata, tapi kita tidak. Kita akan menjelaskan diri kita
dengan apa yang kita perbuat.
(Hal. 87)
Menjaga perasaan untuk
tetap sama sejak kali pertama jatuh cinta hingga tua nanti, bukan perkara yang
mudah.
(Hal. 103)
Hidup tak berjalan seperti
jalannya kereta di jalur yang pasti.
(Hal. 107)
Kalau ada yang
memperjuangkan, beranikah untuk ikut berjuang? Kalau ada yang diperjuangkan,
mampukah untuk mengikhlaskan waktu yang akan hilang sepanjang perjalanan? Kalau
ada yang berjuang, maukah bersabar untuk tidak menilai?
(Hal. 108)
Sampai nanti pun mungkin
kita memahami bahwa air mata kebahagiaan dan kesedihan itu semakin sulit
dimengerti. Karena ibunda akan selalu berkata bahwa tetas air mata itu adalah
kebahagiaan dan kita selalu diminta untuk tidak usah memedulikannya. Sampai
kelak, kita berada dalam posisi itu.
(Hal. 125)
Bukankah kekecewaan itu
lahir dari berandai-andai, dari ukuran-ukuran kita yang keliru tentang rasa
syukur, dari prasangka-prasangka yang kita turuti.
(Hal. 150)
Memang ada hal-hal yang
akan selesai dengan sendirinya seiring berjalannya waktu, di waktu kita sedikit
demi sedikit mulai bisa berdamai dengan keadaan, menerima dengan hati yang
lapang, bersyukur atas segala hal yang terjadi, dan berhasil mengambil
pelajarannya. Mungkin berbilang tahun, tapi kita bisa melewatinya. Memang tidak
mudah untuk siapapun hingga kita bener-benar bisa bersyukur, bisa
mengikhlaskan, bisa merelakan dan bisa menerima.
(Hal. 188)
Komentar
Posting Komentar