Review dan Kumpulan Kutipan Buku CATATAN SEORANG DEMONSTRAN



DETAIL BUKU

Penulis         : Soe Hok Gie
Tahun          : 1983
Genre           : Kumpulan Catatan Harian
Penerbit       : LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial)
Cover           : Softcover
Tebal            : 385 halaman
Cetakan        : Original
Harga           : Rp 48.000,- (Oktober 2019 – Onlineshop)
Keterangan : Cover Cetakan XVI, September 2017


GIE DI MATA SAYA

Soe Hok Gie.
Mungkin nama ini tidak terlalu familiar di telinga pemuda jaman sekarang. Tapi mungkin bagi mahasiswa yang aktif di organisasi kampus, nama Soe Hok Gie tidak terdengar asing. Yup, Soe Hok Gie adalah sosok aktivis kampus yang aktif di tahun 60an. Dia mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1961 dan lulus tahun 1969. Lahir 17 Desember 1942, dan meninggal di usia muda pada 16 Desember 1969, sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27, akibat gas beracun di Gunung Semeru.


Soe Hok Gie bukan sekedar aktivis kampus biasa, namun dia adalah salah satu penggerak masa mahasiswa yang terjun ke jalan dalam aksi demonstrasi tahun 1966 dalam rangka menyerukan TRIKORA (Tiga Komando Rakyat). Bahkan dia aktif menggerakkan aksi demonstrasi lainnya hingga berhasil menggulingkan pemerintahan Soekarno pada masanya.

Selain melalui aksi demonstrasi, Soe Hok Gie lebih luas dikenal melalui tulisan-tulisannya yang kritis yang dimuat di berbagai surat kabar. Berbagai hal dia komentari, secara umum seperti pemerintahan dan kehidupan Indonesia pada masa itu. Banyak orang yang kagum dengan tulisannya, tapi kekritisannya itu pula yang membuat banyak pihak tidak terlalu suka dengannya.

Saya sendiri pertama mengenal Soe Hok Gie ketika nonton film GIE (2005) sekitar tahun 2014 atau 2015 lalu. Saya sempat menulis review singkat film ini disini. Sejak saat itu nama Soe Hok Gie melekat di ingatan saya. Penilaian saya ketika itu adalah, “orang yang terbuka melihat kehidupan lalu secara jujur menilai dan menuliskannya, barangkali adalah orang-orang yang gelisah, lalu merasakan kegelisahan dalam kesendirian dimana orang-orang tidak bisa memahaminya. Seperti Soe Hok Gie”.

Tapi secara tanpa sadar saya juga kagum dengan sosoknya. Waktu itu saya masih mahasiswa baru, belum tau menau mengenai kehidupan kampus, tidak tertarik sama sekali dengan politik. Saya kagum karena dia adalah seorang pemikir yang secara berani menuliskan gagasan pikirannya. Dia tidak pantang mundur meski orang-orang tidak menyukainya. Dia begitu tertarik dan mencintai alam. Dia puitis dan romantis.

Lalu ketika pada akhir September 2019 kemarin terjadi aksi demonstrasi mahasiswa di Jakarta dan berbagai kota-kota besar di Indonesia, sebagai akibat undang-undang “ngawur” yang dibuat pemerintah, saya kembali teringat sosok Soe Hok Gie. Di story Whatsapp saya unggah sketsa wajahnya dan menulis, “Kadang saya bertanya-tanya sendiri. Jika sosok ini masih ada sampai saat ini, kira-kira kritik dan pemikiran apa yang akan dia tuangkan di dalam tulisannya”.

Dari situ akhirnya saya berpikiran untuk beli buku Catatan Seorang Demonstran, buku yang mengilhami dibuatnya film GIE. Persis setelah gaji turun, tanpa pikir panjang hal yang saya lakukan pertama kali adalah membeli buku ini secara online. Kalau kebiasaan buruk saya adalah “beli buku tapi dibacanya nanti-nanti”, ketika buku ini sampai dan saya sudah menyelesaikan bacaan dari buku sebelumnya, maka saya langsung mulai membaca buku CSD.

Catatan harian Soe Hok Gie seperti membawa saya ke dalam pikirannya. Turut merasakan apa yang dia rasakan. Memahaminya. Ternyata memang benar, Gie adalah sosok yang idealis, kritis, sekaligus nasionalis, patriotis dan romantis. Kecintaannya pada alam dan gunung juga menjadi pesona tersendiri untuk saya, yang kebetulan juga menyukai hal yang sama. Puisi-puisi Gie menjadi bagian favorit saya dari buku ini.

Saya tidak perlu mereview banyak tentang isi buku ini. Pada bagian akhir buku juga ditulis beberapa ulasan pers mengenai buku ini, dan menurut saya itu cukup mewakili. Karna namanya karya pasti ada kurang dan lebihnya, ada pro dan kontranya. Saya cukup mengambil bagian yang menurut saya sesuai, lalu mengabaikan bagian-bagian lain yang tidak sesuai.

Mengenai pikiran Gie juga tidak 100% benar menurut saya. Misalnya mengenai ketidak-percayaannya tentang keberadaan Tuhan. Itu adalah hal yang tidak perlu saya pusingkan. Tapi saya berfokus pada hal-hal lain yang menurut saya benar dan patut ditiru. Misalnya tentang bagaimana dia jujur kepada diri sendiri dan kepada orang lain. “Ia tidak selalu benar, tapi ia selalu jujur”.

Mungkin masih banyak penilaian saya mengenai Gie yang tidak bisa saya tuliskan disini. Intinya adalah buku ini recomended to read, khususnya untuk mereka yang masih bergelar mahasiswa. Part berikutnya adalah tentang  Gie di Mata Mereka dan kumpulan kutipan dari buku Catatan Seorang Desmonstran. Semoga bermanfaat.


GIE DI MATA MEREKA

Soe Hok Gie, seorang pemuda Indonesia yang berperawakan kecil tapi bercita-cita besar. Memang tidak banyak mahasiswa seperti Soe Hok Gie: seorang pemuda yang tidak hanya belajar dan bertindak berusaha mewujudkan cita-citanya, melainkan juga dengan tekun mencatat apa yang dialaminya, apa yang dipikirkannya.
. . .
Soe Hok Gie adalah seorang cendekiawan yang ulung yang terpikat pada ide, pemikiran dan yang terus menerus menggunakan akal pikirannya untuk mengembangkan dan menyajikan ide-ide yang menarik perhatiannya.
. . .
Ia tidak selalu benar, tapi ia selalu jujur.
- Harsja W. Bachtiar
(Hal. xvii)


Gie, seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, selalu.
. . .
Ketidakadilan bisa merajalela, tapi bagi seorang yang secara jujur dan berani berusaha melawan semua ini, dia akan mendapat dukungan tanpa suara dari banyak orang. Mereka memang tidak berani membuka mulutnya, karena kekuasaan membungkamnya. Tapi kekuasaan tidak bisa menghilangkan dukungan itu sendiri, karena betapa kuat pun kekuasaan, seseorang tetap masih memiliki kemerdekaan untuk berkata “Ya” atau “Tidak”, meskipun Cuma di dalam hatinya.
. . .
“Gie, kamu tidak sendirian”.
- Arief Budiman
(Hal. xxii-xxiv)


Orang yang tidak saya kenal ini tiba-tiba membuat saya bangga menjadi anak Indonesia.
. . .
Saya menjadi pengagum Gie. Buat saya, dia adalah hero yang selalu siap membela yang lemah. Jiwa pemberontaknya mengobarkan semangat saya untuk mengejar cita-cita. Kekuatan kata-katanya tidak hanya menggambarkan sebuah kepribadian yang kukuh, cerdas, tapi juga romantis dengan keangkuhan yang memikat. Belum lagi kecintaannya terhadap alam.
. . .
Gie ternyata bukanlah sosok yang pendiam, dingin, pemikir dan angkuh. Melainkan sosok yang riang, tidak bisa diam, lincah, penyayang, senang berdebat, supel dan ramah. Namun hampir semua sepakat, Gie adalah sosok yang sederhana, berani, jujur, dan tidak mau berkompromi dengan kekuasaan. Apalagi bila kekuasaan itu menihilkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
- Mira Lesmana
(Hal. xxv-xxvii)


Gie seorang anak muda yang membuka diri terhadap hidup, selain membaca buku ia juga menikmati pesta dansa dan makanan enak. Ia juga seorang pendaki gunung yang tangguh dan liat. Gie bukanlah stereotipe tokoh panutan atau pahlawan yang kita kenal di negara ini. ia adalah pecinta kalangan yang terkalahkan – dan mungkin ia ingin tetap bertahan menjadi pahlawan yang terkalahkan, dan ia mati muda.
- Riri Riza
(Hal. xxx)


Alam terbuka adalah gunung dan dia putuskan untuk naik ke gunung. Di sana seluruh bumi membuka diri, kaki langit tertancap teguh di seputar dirinya dan dia menatap kaki langit tanpa rintangan karena tidak ada yang lebih tinggi dari puncak.
- Daniel Dhakidae
(Hal. 52)


Soe Hok Gie.
Seorang pemuda yang luar biasa. Luar biasa dalam banyak hal. Cerdas, brilliant, jujur dan terbuka. Seorang idealist yang murni. Dengan perasaan keadilan yang tajam. Suatu manusia yang berjiwa bebas. Dan semuanya ini dihias dengan keberanian yang luar biasa pula.
- Kompas
(Hal. 53)


Buku ini seolah-olah membangunkan lagi semacam kesadaran di kalangan kaum muda, yaitu kesadaran bahwa mereka mungkin terjerat dalam sautu bahaya, yaitu sekedar hanyut di dalam hidup dan tidak memberikan bekas-bekas dalam hamparan sejarahnya.
(Hal. 357)


KUTIPAN

Sebenarnya antara kita tidak ada apa-apa. Dunia kita tak berkaitan satu dengan yang lain.
- Soe Hok Gie (10 September 1967)
(Hal. 48)

Kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak  mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.
- Soe Hok Gie (14 September 1967)
(Hal. 49)

Now I see the secret of the making of the best person
It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth
- Walt Whitman
(Hal. 51)

Aku mau sebetulnya sekolah di alam bebas seperti R. Tagore bilang.
- Soe Hok Gie (28 Oktober 1957)
(Hal. 59)

Guru model gituan. Yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.
- Soe Hok Gie (8 Februari 1958)
(Hal. 65)

Sial. Harus diakui oleh semua orang bahwa membicarakan mengenai perempuan adalah obrolan (kosong) yang terenak. Bagi perempuan apakah yang paling aktuil sebagai bahan pembicaraan? Laki-laki. Mungkin pula.
- Soe Hok Gie (9 Maret 1958)
(Hal. 67)

Aku bersamamu, orang-orang malang.
- Soe Hok Gie (10 Desember 1959)
(Hal. 69)

Kebenaran cuma ada di langit dan dunia hanyalah palsu, palsu.
- Soe Hok Gie (10 Desember 1959)
(Hal. 70)

Apakah yang lebih mengecewakan daripada harapan yang hilang?
- Soe Hok Gie (13 Agustus 1960)
(Hal. 79)

Semua kenangan-kenangan (yang manis) terbayang kembali. Dan aku sadar bahwa semuanya akan dan harus berlalu. Tetapi ada perasaan sayang akan kenangan-kenangan tadi. Aku seolah-olah takut menghadapi ke muka dan berhadapan dengan masa kini dan masa lampau terasa nikmatnya.
- Soe Hok Gie (5 Agustus 1961)
(Hal. 83)

Let us be forgotten as the flower be forgotten.
- Soe Hok Gie (5 Agustus 1961)
(Hal. 84)

Berbahagialah orang yang masih mempunyai rasa cinta, yang belum sampai kehilangan benda yang paling bernilai itu.
- Soe Hok Gie (16 Desember 1961)
(Hal. 91)

Pada suatu saat dimana kita berhenti
Memandang ke belakang
Dan memberi salam
(Mesra tapi sayu)
Masa lampau adalah seperti mimpi
Terlupa dan berat menarik ke belakang
Terkadang kecewa
Yang hilang, semua hilang
Seperti usus yang lenyap kelemasan
Dan kecewa seperti Asvius yang patah hati
Kemasakan dan juga kenaifan
Keberanian dan pengkhianatan
Apakah kita bisa bicara tentang nilai-nilai?
Sebelum dewasa?
- Soe Hok Gie (17 Desember 1961)
(Hal. 92)

Hidup
Terasa pendeknya hidup memandang sejarah
Tapi terasa panjangnya karena derita
Maut; tempat perhentian terakhir
Nikmat datangnya dan selalu diberi salam
- Soe Hok Gie (5 Januari 1962)
(Hal. 95)

Seorang filsuf Yunani pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.
Makhluk kecil kembalilah
Dari tiada ke tiada
Berbahagialah dalam ketiadaanmu
- Soe Hok Gie (22 Januari 1962)
(Hal. 96)

Belajar tanpa selera tidak akan berhasil. Tanpa fighting-spirit, maka kita bukan apa-apa. Hanya dengan inilah kita dapat belajar dengan bersemangat.
- Soe Hok Gie (8 Februari 1962)
(Hal. 101)

Kata Prog. Beerling seseorang hanya dapat hidup selama masih punya harapan-harapan.
- Soe Hok Gie (30 Maret 1962)
(Hal. 101)

Betapa berat dan sukarnya perjuangan menuju kebenaran. Dan rumput-rumput prasangka akan mudah bertumbuh, sedang pohon keberanian begitu sukar.
- Soe Hok Gie (12 April 1962)
(Hal. 103-104)

Tetapi apa yang lebih puitis selain bicara tentan kebenaran.
- Soe Hok Gie (14 Januari 1963)
(Hal. 111)

Dan mereka yang patuh pada agama Islam, menjalankan sembahyang di tengah jalan. Waktu itu adalah bulan puasa. Betapa mengharukannya. Mereka bersujud padaNya di tengah matahari, mereka berpuasa, mereka menyembah Tuhan dan mereka berjuang untuk rakyat yang melarat.
- Soe Hok Gie (10 Januari 1966)
(Hal. 128)

Perjuangan mahasiswa sekarang bukanlah sekedar perjuangan menurunkan harga bensin, akan tetapi merupakan perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kejujuran.
- Soe Hok Gie (Januari 1966)
(Hal. 139)

Kami sama sekali tidak merasa ditunggangi. Dan kalau memang ada yang menunggangi kami, maka yang menunggangi adalah rakyat.
- Ismid (Januari 1966)
(Hal. 153)

Tetapi kenang-kenangan demonstrasi akan tetap hidup. Dia adalah batu tapal daripada perjuangan mahasiswa Indonesia, batu tapal dalam revolusi Indonesia dan batu tapal dalam sejarah Indonesia. Karena yang dibelanya adalah keadilan dan kejujuran.
- Soe Hok Gie (25 Januari 1966)
(Hal. 162)

Saya telah memutuskan bahawa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan. Saya tidak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin.
- Soe Hok Gie (30 Juli 1968)
(Hal. 166)

Menghadapi kekejaman-kekejaman ini orang hanya punya 2 pilihan. Menjadi apatis atau ikut arus. Tapi syukurlah ada pilihan ketiga: menjadi manusia bebas.
- Soe Hok Gie (7 Agustus 1968)
(Hal. 168)

Seorang manusia dinilai oleh keterus-terangannya dan keberanian moralnya.
- Soe Hok Gie (16 Agustus 1968)
(Hal. 170)

Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan.
- Soe Hok Gie (22 Agustus 1968)
(Hal. 172)

Kadang-kadang saya berpikir bahwa saya adalah anak nakal yang membangunkan manusia dari mimpi-mimpinya yang indah padahal bohong.
- Soe Hok Gie (28 Agustus 1968)
(Hal. 174)

Saya menjadi berpikir lama sekali. Saya tahu bagaimana anak-anak Indonesia kelaparan di beberapa daerah tertentu. Juga di India, Afrika di mana-mana. Di benua ini (Eropa) jagung-jagung dibiarkan membusuk, ketika jutaan anak-anak merayap mencari sesuatu untuk dimakan. Semuanya menimbulkan rasa “sakit” pada saya. Tidak pada siapa-siapa tetapi pada manusia dengan kepicikannya sebagai keseluruhan.
- Soe Hok Gie (24 Oktober 1968)
(Hal. 187)

Saya tak tahu masa depan saya. Sebagai orang yang berhasil? Sebagai orang yang gagal terhadap cita-cita idealisme? Lalu tenggelam dalam waktu dan usia? Sebagai orang yang kecewa dan lalu mencoba menteror dunia? Atau sebagai orang yang gagal tetapi dengan penuh rasa bangga tetap memandang matahari yang terbit? Saya ingin mencoba mencintai semua. Dan bertahan dalam hidup ini.
- Soe Hok Gie (26 Oktober 1968)
(Hal. 189-190)


Saya mimpi tentang sebuah dunia
Dimana ulama – buruh dan pemuda
Bangkit dan berkata – stop semua kemunafikan
Stop semua pembunuhan atas nama apa pun

Dan para politisi di PBB
Sibuk mengatur pengangkutan gandum, susu dan beras
Buat anak-anak yang lapar di tiga benua
Dan lupa akan diplomasi

Tak ada lagi rasa benci pada siapa pun
Agama apa pun, ras apa pun, dan bangsa apa pun
Dan melupakan perang dan kebencian
Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik

Tuhan – saya mimpi tentang dunia tadi
Yang tak pernah akan datang
- Soe Hok Gie (29 Oktober 1968)
(Hal. 191)


Pers tidak memuat apa-apa yang senang dibaca publik, tetapi apa-apa yang perlu diketahui publik, punya fungsi edukatif.
- Soe Hok Gie (30 Oktober 1968)
(Hal. 192)


Sebuah Tanya
Akhirnya semua akan tiba
Pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui

Apakah kau masih berbicara selembut dahulu
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
Sambil membenarkan letak leher kemejaku

(Kabut tipis pun turun pelan-pelan
Di lembah kasih, Lembah Mendalawangi
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin)

Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
Ketika kudekap kau
Dekaplah lebih mesra, lebih dekat

(Lampu-lampu berkelipan di Jakarta yang sepi
Kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya
Kau dan aku berbicara
Tanpa kata, tanpa suara
Ketika malam yang basah menyelimuti Jakarta kita)

Apakah kau masih akan berkata
Kudengar derap jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta

(Hari pun menjadi malam
Kulihat semuanya menjadi muram
Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
Dalam bahasa yang kita tidak mengerti
Seperti kabut pagi itu)

Manisku, aku akan jalan terus
Membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
Bersama hidup yang begitu biru

- Soe Hok Gie (1 April 1969)
(Hal. 214-215)


I am not an idealist anymore. I am a bitter realist.
- Soe Hok Gie (16 April 1969)
(Hal. 221)

My poor little one, she must grow to be a mature woman, but what can I do. I hope one day she will grow as a mature and brave woman, face all the challenge and enjoy the wonderful life.
- Soe Hok Gie (18 April 1969)
(Hal. 221)

Agak surprised karena tak menyangka bahwa saya juga something dalam hidup kemahasiswaan Indonesia.
- Soe Hok Gie (11 Mei 1969)
(Hal. 236)

Rasanya tak enak sekali menjadi sarjana. Kehidupan dunia mahasiswa terasa begitu dekat dan mesra. Saya telah mengalami buku, pesta dan cinta. Dan akhirnya semuanya berakhir. Hari pertama dari Soe Hok Gie yang bukan mahasiswa, mulai sudah. Dan hari-hari selanjutnya akan sama seperti biasa, tetapi tidak untuk saya.
- Soe Hok Gie (12 Mei 1969)
(Hal. 238)

Apa yang kurang, ada lontong, ada daging, ada tenda, ada sleeping bag dan ada bulan, tapi tidak ada “santapan rohani”.
(Hal. 252)
Note: Santapan rohani artinya seseorang yang dicintai atau dirindukan

Kadang-kadang dalam suasana ini dipuncak gunung kita menjadi religius dan puitis.
- Soe Hok Gie (1969)
(Hal. 253)

Saya tak pernah radikal. Saya adalah seorang reformis.
- Soe Hok Gie (1969)
(Hal. 254)

Dan saya mulai merasa mesra kembali dengan kesendirian saya.
- Soe Hok Gie (5 Juni 1969)
(Hal. 256)

Menipu diri bukanlah kerja yang mudah.
- Soe Hok Gie (18 Juni 1969)
(Hal. 263)

Saya ingin punya istri yang dapat diajak dalam “gila-gilaan” dan “kluyuran-kluyuran”.
- Soe Hok Gie (20 Juni 1969)
(Hal. 266)

Dua-duanya menyadari, tapi dua-duanya memerlukan persahabatan yang mesra dan jujur untuk membicarakan kesulitan-kesulitan bersama. Dan memang kami sedang menipu diri masing-masing. Kami tidak dari kenyataan-kenyataan yang ada. Kami hidup dari harapan-harapan yang kita inginkan. Kami berpikir tentang mimpi-mimpi kami yang indah.
- Soe Hok Gie (20 Juni 1969)
(Hal. 267)

Dunia ini adalah dunia yang aneh. Dunia yang hijau tapi lucu. Dunia yang kotor tapi indah. Mungki karena itulah saya telah jatuh cinta dengan kehidupan. Dan saya akan mengisinya, membuat mimpi-mimpi yang indah dan membius diri saya dalam segala-galanya.
- Soe Hok Gie (20 Juni 1969)
(Hal. 267)

Rasa bosan dan rasa sepi dari kehidupan seorang pemikir seperti saya.
- Soe Hok Gie (25 Juni 1969)
(Hal. 270)

Saya tak mau jadi pemimpin satu golongan. Saya ingin jadi eksponen masyarakat.
- Soe Hok Gie (27 Juni 1969)
(Hal. 272)

Di tengah hirup pikuk saya mendengar kembali suara-suara halus kehidupan. Ketengan dan kemanusiaan.
Dan saya adalah serigala yang gelisah. Yang masih ingin mengembara di hutan-hutan yang jauh, tetapi juga merasa usia menahan kita setiap hari. Sebuah dunia yang lain – dunia yang manis dan tidak serius.
- Soe Hok Gie (5 Juli 1969)
(Hal. 277)

Let us be honest to our selves. You are part of my life and if you feel that you need me – emotionally connected etc, please come to me. I am always ready for you.
- Soe Hok Gie (9 Agustus 1969)
(Hal. 307)

Memikirkan kembali soal-soal kecil dalam hidup adalah sesuatu hal yang membuat kita menjadi manusia kembali.
- Soe Hok Gie (17 Agustus 1969)
(Hal. 312)

Hubungan kami adalah hubungan yang absurd. Dua-duanya merasa iseng, dua-duanya menipu diri, dua-duanya pura-pura sportif. Tapi juga dua-duanya membatasi diri. Jika saya tidak membatasi diri, pastilah kita terlibat lebih dalam lagi, selama kita di gunung. Tapi menjadi orang munafik juga suatu tantangan.
- Soe Hok Gie (17 Oktober 1969)
(Hal. 329)


Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekah
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza
Tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu, sayangku
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mendalawangi

Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
Tapi aku ingin mati di sisimu, manisku
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu

Mari sini sayangku,
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung
Kita tak pernah menanam apa-apa
Kita tak kan pernah kehilangan apa-apa

- Soe Hok Gie (11 November 1969)
(Hal. 341)


Semua terasa mesra tapi kosong.
- Soe Hok Gie (2 Desember 1969)
(Hal. 349)

Cinta seorang ibu adalah cinta yang unik. Di satu pihak ia mendidik dan mempersiapkan anaknya menjadi manusia, tapi di pihak lain ia harus merelakan agar anaknya pada suatu hari meninggalkan dia dan pergi dengan orang lain. Ia harus mencintai dengan tanpa pamrih.
- Soe Hok Gie (8 Desember 1969)
(Hal. 352)

Memang benar, bahwa perjuangan itu tak mengenal batas serta tepi. Perjuangan itu bagaikan ombak, bergelora dan selalu ingin mencapai pantai.
(Hal. 375)

==============================================================

Nah itu dia review dan kutipan buku Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie. Sudah mulai merasakan bahwa Gie adalah sosok pemuda idealis yang menarik?

Baca juga review dan kutipan buku-buku koleksi saya yang lain disini. Selamat membaca buku :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Latihan Soal E-Commerce BSI Pertemuan 1-6

14 Jenis Muamalah, Contoh dan Dalilnya