Review dan Kumpulan Kutipan Buku GARIS WAKTU



DETAIL BUKU


Penulis         : Fiersa Besari
Tahun          : 2016
Genre           : Antologi Prosa
Penerbit       : mediakita
Cover           : Softcover
Tebal            : 212 halaman
Cetakan        : Original
Harga           : Rp 42.340,- (Desember 2019 – Onlineshop)
Keterangan : Cover Cetakan XXVI, 2019

REVIEW


Setelah sebelumnya saya mereview novel yang cukup tebal berjudul “Athirah”, sekarang saya mau mereview buku yang lebih tipis berjudul “Garis Waktu”. Buku ini cukup populer seiring dengan kepopuleran penulisnya di kalangan anak muda. Dialah Fiersa Besari, musikus, penulis sekaligus pecinta alam yang gemar bertualang.

Jujur saya baru mengenal Fiersa Besari beberapa bulan yang lalu ketika teman kerja saya sering memutar lagu-lagunya di kantor. Selain lagu-lagunya yang manis (kebanyakan tentang cinta, patah hati dan rasa yang tidak terbalas hehe) saya juga suka dengan Fiersa Besari karena kecintaannya pada alam. Laki-laki yang pintar merangkai kata, jago membuat lagu, bisa menyanyi dan menyukai alam adalah kombinasi yang menawan. Hehe.

Eh kok jadi mereview penulisnya si, haha. Back to the book. Jadi setelah mengenal sang penulis, saya mulai tertarik dengan bukunya. Akhirnya buku karya Bang Fiersa saya masukkan ke wishlist. Nah ini lah buku pertama Bang Fiersa yang saya baca, sekaligus buku pertama hasil buah karya Bang Fiersa di tahun 2016.

Buku Garis waktu memiliki ukuran yang lebih kecil dibanding buku-buku koleksi saya sebelumnya, dan lumayan tipis juga. Isinya bukan novel, bukan pula kumpulan puisi. Tapi lebih ke kumpulan tulisan-tulisan singkat atau ungkapan hati. Setelah bingung sendiri, akhirnya saya simpulkan genre buku ini adalah antologi prosa, atau kumpulan prosa. (Maaf kalo salah. Hehe)

Tulisan-tulisan yang dirangkum di buku ini adalah hasil rangkuman tulisan Bang Fiersa di berbagai jejaring sosialnya selama ini, yang akhirnya dia kumpulkan dan diolah menjadi satu buah buku. Nah hal ini lah yang sebenarnya paling menginspirasi saya. Berharap suatu hari bisa melakukan hal serupa terhadap tulisan-tulisan ringan saya di sosmed.

Mengenai tema, cukup jelas temanya yaitu percintaan. Jadi buku ini cocok untuk para remaja yang sedang dimabuk asmara, sekaligus yang sedang dirundung patah hati. Sayangnya, bagi mereka yang hatinya sepi, mungkin agak kurang menikmati sisi romantismenya (seperti saya, huhu). Alhasil kutipan-kutipan yang saya tulis disini kebanyakan ada tentang nilai hidup, bukan melulu tentang cinta, cinta dan cinta.

Kutipan yang ada di buku ini juga melimpah ruah, hampir setiap halamannya ada. Nah dibawah ini saya rangkum kutipan-kutipan yang saya suka. Semoga bermanfaat untuk menginspirasi hidup, juga untuk caption instagram.

KUTIPAN


Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju, akan ada saatnya kau bertemu dengan satu orang yang mengubah hidupmu untuk selamanya. Kemudian, satu orang tersebut akan menjadi bagian terbesar dalam agendamu. Dan hatimu takkan memberikan pilihan apa pun kecuali jatuh cinta, biarpun logika terus berkata bahwa risiko dari jatuh cinta adalah terjerembab di dasar nestapa.
(Hal. 4)

Hidup adalah serangkaian kebetulan. ‘Kebetulan’ adalah takdir yang menyamar.
(Hal. 9)

Kau diamkan tanganmu di dalam jabatanku selama beberapa detik. Aku idamkan tanganmu di dalam genggamanmu untuk selamanya
(Hal. 11)

Tumbuh harapan dalam hatiku; berharap kelak dapat kutemui senyummu yang sesungguhnya. Dan jika tidak berlebihan, akulah orang yang membuatmu tersenyum.
(Hal. 12)

Jika kasmaran adalah narkotik, maka kau adalah bandarnya. Dan aku bagaikan pecandu yang rela menggadaikan jiwa demi menatap matamu sekali lagi.
(Hal. 12)

Jika kita berjodoh, walaupun hari ini di tempat ini tidak bertemu, kita pasti akan tetap dipertemukan dengan cara yang lain.
(Hal. 13)

Cinta selalu bersemi di tempat, waktu dan situasi yang tidak terduga. Ia laksana mentari di tengah temaram, hijau di antara gersang. Cinta tidak pernah datang tiba-tiba, ia akan mengendap-ngendap menyusup ke dalam urat hadimu, meledakkan jantungmu, lalu meninggalkanmu terbakar habis bersama bayang-bayangnya.
(Hal. 16)

Jatuh cinta tidak mengenal ‘tipe’. Kau takkan peduli fisik dan isi kepalanya. Yang kau tahu hanyalah: jantungmu berdebar kencang bila berada di dekatnya.
(Hal. 17)

Jangan memikat jika kau tak berniat mengikat.
(Hal. 19)

‘Perasaan’ laksana hujan, tak pernah datang dengan maksud yang jahat. Keadaan dan waktulah yang membuat kita membenci kedatangannya.
(Hal. 21)

Hidup ini harus seperti membaca buku. Kita takkan bisa lanjut ke bab berikutnya jika terus terpaku di bab sebelumnya.
(Hal. 23)

Kita sama-sama pemimpi. Kau mengejar impianmu, dirinya. Aku menunggu impianku, dirimu.
(Hal. 25)

Menyayangimu sangatlah mudah, aku bisa melakukannya berulang kali tanpa pernah merasa bosan. Yang sulit itu cara menunjukkanya.
(Hal. 25)

Akhir-akhir ini kalimat ‘jadilah diri sendiri’ terasa klise. Apakah seseorang bisa menjadi diri sendiri? Bukankah diri ini adalah hasil kolektif pengetahuan yang kita dapat dari lingkungan sekitar?
Kalau begitu aku ganti kalimatnya menjadi ‘jangan berusaha menjadi keren, berusaha saja menjadi jujur’. Sebab, banyak sekali orang yang merasa keren dengan cara mengikuti sekitarnya. Memakai apa yang sedang keren, sampai melakukan hal-hal yang ngaco hanya karena ingin dianggap keren. Tapi, untuk menjadi jujur, itulah yang sulit. Setidaknya, jujur kepada diri sendiri; melakukan hal-hal yang memang diinginkan oleh hati nurani, meski harus dihina oleh orang lain.
(Hal. 27)

Jangan takut untuk menjadi jujur. Jangan takut melawan arus. Hanya karena tidak ada yang setuju dengan pendapatmu, bukan berarti pendapatmu salah.
(Hal. 28)

Tak perlu menyeragamkan diri dengan kebanyakan orang. Tak perlu kekinian (karena yang kekinian akan alay pada waktunya)
(Hal. 28)

Pengagummu akan pergi setelah kau tak sesuai lagi imajinasinya, tapi orang yang menyayangimu akan tetap tinggal betapa pun buruknya dirimu. Dan diterima apa adanya tanpa harus berpura-pura menjadi orang lain, itu indah.
(Hal. 29)

Tidak perlu takut. Tunjukkan saja warna-warnimu yang sesungguhnya. Bahkan lukisan terbaik sedunia pun mempunyai pembenci dan pengkritik.
(Hal. 29)

Jika aku yang kau rasa menenangkanmu, lantas mengapa ia yang memenangkanmu?
(Hal. 31)

Ya, aku mengalah. Aku mengalah karena aku percaya, kalau kau memang untukku, sejauh apa pun kakimu membawa lari, jalan yang kau tempuh hanya akan membawamu kembali padaku.
(Hal. 33)

Rasa yang tidak berbatas takkan mempermasalahkan ketika tidak berbalas.
(Hal. 37)

Aku rindu sosokmu yang memberitahuku bahwa cinta terpendam adalah bahasa keheningan dengan hati yang saling menggenggam. Jadi, apakah salah jika selalu saja namamu yang terukir, meski rasa ini tanpa nama, tanpa sebab, tanpa mula, tanpa akhir?
Lambat laun kusadari, beberapa rindu memang harus sembunyi-bunyi. Bukan untuk disampaikan hanya untuk dikirimkan lewat doa. Beberapa rasa memang harus dibiarkan menjadi rahasia. Bukan untuk diutarakan, hanya untuk disyukuri keberadaannya.
(Hal. 40)

Kau selalu mampu membuatku jujur mengenai segala hal, kecuali satu; perasaanku. Andai saja aku mampu memberitahumu. Tapi aku terlalu takut akan reaksimu yang tidak sesuai dengan imajinasimu selama ini. bukankah kita adalah dua orang yang telanjur menikmati berkubang dalam zona pertemanan?
(Hal. 44)

Aku akan tetap menjadi orang yang sama, yang merindukanmu dengan sederhana, mengejarmu dengan wajar, menyayangimu dengan luar biasa, dan menyakitimu dengan mustahil.
(Hal. 45)

Ada ketulusan yang selalu datang menyapamu setiap hari. Kau saja yang menolak untuk melihat dan lebih memilih untuk menatap ke arah lain.
(Hal. 45)

Sudahlah.. sesekali tak apa menjadi manusia biasa. Wajar untuk terluka, untuk membutuhkan tempat bersandar, untuk tidak baik-baik saja.
(Hal. 52)

Saat semua tidak berjalan semestinya, kita bisa mengangkat tangan untuk menyerah atau mengangkat tangan untuk berdoa.
(Hal. 52)

Aku selalu menganggap, rela menunggu seseorang itu tidak berarti bodoh, itu hanya berarti teguh pendirian. Karena sekuat apa pun kita menyangkal sesuatu yang dikatakan oleh hati, sekuat itu pula hati kita akan berusaha mendesak.
(Hal. 55)

Aku rasa kita tidak bisa memilih siapa yang patut kita taruh dalam hati kita.
(Hal. 69)

Pada tenangmu aku berlabuh, mengetahui sewaktu-waktu ombakmu dapat mendentumku keras, namun aku  tetap menambatkan jangkar. Pada jinggamu aku berlabuh, mengetahui sewaktu-waktu gelapmu dapat membutakanku, namun aku tetap menambatkan jangkar. Padamu aku berlabuh, mengetahui sewaktu-waktu kau tidak baik-baik saja, namun aku  tetap menambatkan jangkar. Aku menambatkan jangkar bukan hanya untuk melihatmu sempurna. Aku menambatkan jangkar untuk melihatmu apa adanya.
(Hal. 71)

Yang hening-hening syahdu itu yang biasanya langgeng. Bukan yang dipamer-pamer. Pada waktunya, dunia hanya perlu tahu kalau kita hebat. Kebahagiaan tidak membutuhkan penilaian orang lain.
(Hal. 80)

Dan meski tidak ada keluarga yang sempurna di dunia ini, kekurangan-kekurangan dalam keluargalah yang pada akhirnya membuat kita rindu untuk pulang, untuk kembali melengkapi, untuk kembali dilengkapi.
(Hal. 92)

Di hidup kita yang cuma satu kali ini, apa perlu membuang waktu dengan mengurusi yang tidak perlu, menghakimi yang kita tidak tahu, dan memusuhi hal yang tidak kita mengerti?
(Hal. 100)

Jika mereka bertanya padaku apakah aku menyesal, jawabanku adalah ‘tidak’. Berhasil ataupun gagal, aku bangga hidup di atas keputusan yang kubuat sendiri.
(Hal. 101)

Ketika kau melakukan usaha mendekati cita-citamu, di waktu yang bersamaan cita-citamu juga sedang mendekatimu. Alam semesta bekerja seperti itu.
(Hal. 106)

Teruntukmu seseorang di kejauhan, tak usah khawatir. Jarak terjauh kita adalah “waktu”. Tabungan terindah kita adalah “rindu”. Langkah ini akan tertuju padamu; hingga saat itu tiba, hingga aku utuh menjadi milikmu.
(Hal. 111)

Mereka bertanya, untuk apa bertahan menjadi pemimpi, sementara kenyataan menawarkan harta yang lebih melimpah? Aku tertawa pedih. Mereka menanyakan seolah hanya untuk kekayaan kita diciptakan. Apakah akal mereka hanya sebatas itu?
(Hal. 113)

Dan orang-orang yang hari ini kudiamkan, bisa jadi berbalik menjadi orang-orang yang kelak ku butuhkan.
(Hal. 118)

Kakimu bisa kau taruh di tempat tertinggi, tapi apakah hatimu bisa kau taruh di tempat terendah?
(Hal. 119)

Takkan mulia kau menunggu permintaan maaf. Takkan hina kau meminta maaf terlebih dahulu.
(Hal. 141)

Ketika kesetiaan menjadi barang mahal, ketika kata “maaf” terlalu sulit untuk diucap, ego siapa yang sedang kita beri makan?
(Hal. 144)

Dan entah dengan kejujuran atau dengan kebohongan, semua orang yang kita temui akan mengajarkan tentang apa artinya “kepercayaan”.
(Hal. 166)

Jika tidak bisa menghapus seseorang dari ingatanmu, mungkin ia memang digariskan untuk ada di sana. Sudahlah.. Manusia akan melupa pada saatnya.
(Hal. 179)

Gunung tidak diciptakan untuk memuaskan harga diri kita. Ia diciptakan agar kita lebih merunduk dan merendahkan hati.
(Hal. 189)

==============================================================

Nah itu dia review dan kutipan buku Garis Waktu karya Fiersa Besari.
Baca juga review dan kutipan buku-buku koleksi saya yang lain disini. Selamat membaca buku :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Latihan Soal E-Commerce BSI Pertemuan 1-6

14 Jenis Muamalah, Contoh dan Dalilnya