Review dan Kumpulan Kutipan Novel ALTITUDE 3676 – TAKHTA MAHAMERU
DETAIL BUKU
Penulis : Azzura Dayana
Tahun : 2013
Genre : Novel Fiksi
Penerbit : Indiva
Cover : Softcover
Tebal : 416 halaman
Cetakan : Original
Harga : Rp 47.200,- (Juni 2020 – Onlineshop)
Keterangan : Cover Cetakan I, Juli 2013
REVIEW
Assalamu’alaikum...
Salam lestari!
Baru saja beberapa menit yang lalu saya selesai “mengunyah” sebuah buku bertema petualangan berjudul Altitude 3676 – Takhta Mahameru. Buku apik dan epik ini ditulis oleh Azzura Dayana pada tahun 2013. Buku yang saya baca selama seminggu belakangan dan menjadi selingan ketika sedang bosan atau lelah mengerjakan tesis.
Saya tahu buku ini ketika beberapa bulan yang lalu iseng-iseng searching di Google tentang buku-buku bertema pendakian. Dan munculah 3 buku karya Azzura Dayana di daftar rekomendasi yang saya temukan, yaitu Altitude 3676 – Takhta Mahameru, Rengganis –Altitude 3088 dan Altitude 3159 – Miquelii. Setelah beberapa bulan berlalu, akhirnya satu minggu yang lalu saya berhasil memiliki ketiga buku itu.
Sesuai judulnya, buku seri Altitude pertama ini mengambil latar di Gunung Semeru dengan puncaknya yang fenomenal yaitu Puncak Mahameru. Namun jangan salah, buku setebal 416 halaman ini tidak seluruhnya menceritakan kisah pendakian di gunung tersebut. Kita juga diajak menjelajah Bulukumba, Sulawesi pada sebagian besar isi buku.
Kisah bermula dengan pertemuan dua orang gadis bernama Faras dan Maretha di kompleks Candi Borobudur. Keduanya berkenalan, lalu karena alasan yang berbeda, tiba-tiba menempuh perjalanan bersama menuju Sulawesi. Faras dengan misinya mencari seorang teman bernama Raja Ikhsan, dan Maretha dalam aktivitas travelingnya yang sedang ia lakoni saat minggat dari rumah.
Faras adalah gadis dari
Desa Ranu Pane, desa tertinggi di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Sedangkan
Raja Ikhsan adalah seorang pendaki asal Jakarta yang ia kenal sejak lima tahun
yang lalu ketika laki-laki itu mendaki ke Gunung Semeru. Dan meskipun hanya
bertemu tiga kali selama berteman, ada hal penting yang amat meresahkan gadis
itu, tentang dendam membara di hati Ikhsan hingga ia ingin membunuh ayahnya
sendiri, sehingga membuat Faras rela menempuh perjalanan jauh Malang – Magelang
– hingga Tanjung Bira di Sulawesi Selatan demi bertemu dengan Raja Ikhsan dan
mencegah pembalasan dendam itu.
Buku ini sangat berkesan untuk saya, sebab selain bertema pendakian (sesuatu yang selalu menarik hati saya), juga membawa pesan-pesan kehidupan yang disampaikan dengan cara yang menarik. Alur cerita yang dibawakan akan membuat kita penasaran dan ingin terus membaca hingga tuntas, sembari belajar mengenai arti memaafkan, persahabatan, ketulusan, keluarga dan cinta.
Selain itu menariknya cerita ini dikemas dengan budaya dan adat istiadat Nusantara yang sangat kaya, terutama ketika cerita sedang berlatar di Tanjung Bira, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Banyak wawasan baru yang saya dapat dari buku ini, misalnya mengenai adat istiadat pembuatan pinisi.
Cerita yang dibalut dengan nilai-nilai Islam juga menggetarkan perasaan. Tiga pertanyaan Ikhsan yang ia lontarkan kepada Faras tiga tahun yang lalu: tentang keberadaan Allah di Puncak Mahameru, tentang sebelas alasan mengapa Ikhsan harus sholat dan tentang pembalasan dendam dengan cara membunuh. Ketiga pertanyaan itu berhasil dijawab Faras pada bagian akhir buku, di Puncak Mahameru, dengan jawaban yang cerdas dan menyentuh, berlandaskan pada ayat-ayat Al-Qur’an.
Dan tentu saja, perjalanan pendakian Gunung Semeru menjadi bagian yang sangat saya tunggu-tunggu di buku ini. Apalagi sekarang, terhitung hampir 3 bulan membatasi kegiatan karena efek Pandemi Covid-19, rasa-rasanya melarikan diri ke tempat-tempat menakjubkan seperti Gunung Semeru memang sangat menyenangkan. Sayangnya pelarian itu hanya sebatas melarikan imajinasi sejenak, sedangkan badan masih berdiam di dalam kamar kost. Hehe.
Jadi untuk kalian yang suka
dengan petualangan, aktivitas alam dan pendakian, buku ini menjadi buku
rekomendasi yang harus kalian baca. Sayangnya memang judul buku ini belum
terlalu populer, padahal ceritanya sangat bagus dan berkualitas, bahkan menurut
saya juga layak dibuat film.
Di postingan selanjutnya akan saya review buku seri ke-2 dan ke-3nya, yaitu Rengganis dan Altitude 3159, Insyaa Allah. Terimakasih sudah mampir ke blog saya.
Wassallam, dan salam
lestari!.
KUTIPAN
Sebuah perselisihan akan
menjadi jalan yang paling singkat di antara dua pikiran.
- Kahlil Gibran
(Hal. 65)
Mengapa aku hanya tahu
Allah Maha Besar dan Maha Kuasa tanpa bisa memberikan pemaparan panjang lebar
tentang itu? Mengapa dengan begitu gemarnya aku membaca banyak buku, yang
kubaca tentang Tuhan tidak sebanyak jumlah buku itu sendiri?
(Hal. 68)
Ranu Pane. Pane itu artinya
telinga. Danau ini bukan hanya bentuknya yang seperti telinga, tapi sifatnya
juga. Kupikir, banyak orang yang datang dan duduk berdiam diri di sini bukan
sekedar ingin menikmati suasana, tapi sedang berdialog dengan dirinya sendiri
dan alam.
(Hal. 92)
Suara kehidupan di dalam
diriku tak dapat menyentuh telinga kehidupan dalam dirimu, tetapi marilah kita
berbicara agar kita tidak akan merasa kesepian.
- Kahlil Gibran
(Hal. 93)
Berikan aku telinga, maka
aku akan memberimu suara.
- Kahlil Gibran
(Hal. 93)
Arti penting manusia adalah
bukan pada apa yang dia raih, melainkan lebih pada apa yang ingin dia raih.
- Kahlil Gibran
(Hal. 93)
Hanya orang-orang dengan
rahasia-rahasia dalam hati mereka yang mampu meramalkan rahasia-rahasia di
dalam hati kita.
- Kahlil Gibran
(Hal. 103)
Betapa tidak pedulinya
dirimu ketika kamu menginginkan orang-orang terbang dengan sayapmu dan kamu
bahkan tidak mampu memberi mereka bulu.
- Kahlil Gibran
(Hal. 105)
Tidak ada kehilangan yang
tidak tergantikan. Walaupun gantinya mungkin tidak sepersis yang hilang. Dan
tidak ada kesalahan sebesar apa pun yang tidak termaafkan. Kalau pun manusianya
tidak mau atau tidak sanggup memaafkan, Tuhan pasti memaafkan.
(Hal. 106)
Mencintai air harus menjadi
ricik. Sampai-sampai hujan yang kesekian kerap juga menemani perjalanan cinta
kita. Hujan di langit itu. Hujan di matamu.
- Sapardi Djoko Damono
(Hal. 110)
Pergi sendiri itu bebas.
Aku bisa menentukan segalanya sendiri dan tidak terusik dengan banyak pemikiran
orang lain.
(Hal. 112)
Yang paling dekat dengan
hatiku adalah seorang raja yang tidak memiliki singgasana dan seorang miskin
yang tidak tahu caranya mengemis.
- Kahlil Gibran
(Hal. 122)
Persahabatan itu adalah
pertanggungjawaban yang manis, bukan peluang.
- Kahlil Gibran
(Hal. 126)
Tidak semua masa akan
seberuntung yang pernah kita alami.
(Hal. 136)
Orang gunung berteriak
girang menjejak pantai, anak pantai bergumam kagum mendaki gunung.
(Hal. 138)
Bila kita berpisah
Ke mana kau aku tak tahu,
sahabat
Atau turuti kelok-kelok
jalan
Atau tinggalkan kota penuh
merah flamboyan
Hanya bila kau lupa
Ingat ...
Pernah aku dan kau
Sama-sama daki
gunung-gunung tinggi
Hampir kaki kita
patah-patah
Napas kita putus-putus
Tujuan esa, tujuan satu:
Pengabdian dan pengabdian
kepada ...
... Yang Maha Kuasa.
- Idhan Lubis
(Hal. 160)
Jujur dalam kebaikan yang
kita kerjakan. Tak ada yang akan menilaimu rendah dengan apa yang kamu
kerjakan, selama itu baik dan bukan dosa.
(Hal. 176)
Orang dinilai bukan dari
pencapaiannya, tapi mereka dinilai dari apa yang ingin mereka capai, apa yang
mereka cita-citakan. Kamu tidak dinilai dari benda hebat apa saja yang sudah
berhasil kamu buat, bukan dari gunung terjal mana saja yang sudah kamu daki,
bukan dari lautan buas mana saja yang sudah kamu arungi. Semangat kamu untuk
meraihnya yang membuat kamu hebat. Ketekunan kamu, kerendahan hati kamu setelah
pencapaian itu, serta tujuan dan hikmah yang ingin kamu dapatkan, itu yang
terpenting. Kalau kamu berhasil mencapai sesuatu dengan bantuan orang lain,
jangan pernah mengatakan itu adalah perjuangan yang kamu lakukan sendiri.
(Hal. 176)
Jika ingin menarik
perhatian seseorang, bicaralah tentang apa yang dia sukai, bukan bercerita
dengan berbusa-busa tentang apa yang kita sukai.
(Hal. 190)
Seperti dua kapal yang
berpapasan sewaktu badai, kita telah bersilang jalan satu sama lain; tapi kita
tidak membuat sinyal, kita tidak mengungkapkan sepatah kata pun, kita tidak
punya apa pun untuk dikatakan.
- Oscar Wilde
(Hal. 198)
Aku berjalan selalu di
pantai ini. Antara pasir dan buih. Air pasang akan menghapus jejakku, dan angin
kencang menyembur hilang buih putih. Namun lautan dan pantai akan tinggal
abadi.
- Kahlil Gibran
(Hal. 204)
Manusia tidak akan dapat
menuai cinta sampai dia merasakan perpisahan yang menyedihkan, dan yang mampu
membuka pikirannya, merasakan kesabaran yang pahit dan kesulitan yang
menyedihkan.
- Kahlil Gibran
(Hal. 220)
It
is not the mountain we conquer, but ourselves.
- Edmund Hillary
(Hal. 222)
Kita mendaki karena
kekuatan diri sendiri. Kita mengalahkan diri sendiri.
- Edmund Hillary
(Hal. 231)
Musim pertanyaan. Sedangkan musim jawaban belum lagi tiba.
Masih jauh serupa negeri di kutub paling di selatan. Dengan apa kujawab sebuah
tanya, kalau burung-burung pun bersembunyi dan tak bisa kuajak bicara.
Menceritakan musim: kau tahu apa artinya lembayung?
Ingatkah kau pada wajah mendung? Lalu, masihkah kaki kita bisa menapak ke
ketinggian dan tangan kita berpegang erat pada cadas-cadas yang menyembul di
dinding tebing? Masihkah ada padang Suryakencana dan lembah Mandalawangi, serta
hamparan edelweiss yang mengiangkan seubah janji lagi di teluk sunyi?
Masih mendaki gunung dan belum bertemu kebijaksanaan pada
setiap langkah kaki. Musim masih pagi, tanya terlalu banyak dan kabut menyiksa
pekat. Bukankah timur dan barat adalah milik Allah adanya? Maka ke mana
perginya dirimu untuk berhijrah, niscaya Ia selalu sediakan untukmu tempat
berteduh yang luas dan rezeki yang banyak.
(Hal. 291-292)
Allah saja memaafkan
hamba-Nya, seberapa pun banyak dosa yang dia perbuat. Lalu, kenapa kita tidak
belajar memaafkan dari Pencipta kita?
(Hal. 299)
Orang-orang salah kalau
bilang gunung itu mudah didaki. Mahameru bukan mudah digapai, tapi bisa
digapai.
(Hal. 362)
Ranu Kumbolo. Salah satu
danau terindah di Nusantara ini. Danau yang tidak berpagar beton di tepiannya,
melainkan berpagarkan kaki bukit lengkap dengan tetumbuhannya.
(Hal. 377)
Aku tidak pernah berniat
menaklukkan gunung. Mendaki gunung hanyalah bagian kecil dari pengabdian.
Pengabdianku kepada Yang Maha Kuasa.
- Idhan Lubis
(Hal. 380)
Ketika tiba saat berpisah,
janganlah kalian berduka. Sebab apa yang kalian kasihi darinya mungkin akan
tampak lebih nyata dari kejauhan, seperti gunung yang tampak lebih agung
terlihat dari padang dan daratan.
- Kahlil Gibran
(Hal. 385)
Kita tidak boleh meremehkan
apa pun di Semeru. Silakan kalau tidak mau mempercayai mitos, tapi jangan
mencelanya. Kita dilarang bersikap sombong dan egois selama pendakian. Karena
alam tidak pernah main-main. Karena itu, yang terpenting adalah kita harus
selalu mengingat Tuhan.
(Hal. 391)
Di gunung, kamu akan
melihat setiap orang dalam wujud aslinya. Karakter orang akan tampak jelas,
dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala kebaikan dan
keegoisannya. Kuat atau tidaknya dia, mandiri atau manjanya, rewel atau
tegarnya. Semua akan tampak di gunung.
(Hal. 394)
Ya Rabb, sampaikanlah kami
pada cita-cita kami pagi ini, bersujud pada-Mu di atas tanah tertinggi di Pulau
Jawa ini. Aamiin.
(Hal. 402)
Ya Rabb Pencipta segalanya,
Pencipta kami semua, termasuk diri hamba yang kecil dan hina ini. Pencipta
segala macam kekuatan dan impian, termasuk menggapai tanah tinggi di bumi-Mu
ini. Pencipta seluruh alam raya, termasuk Mahameru ini. Terima kasih...
(Hal. 410)
Komentar
Posting Komentar