Review Novel ALTITUDE 3159 - MIQUELII
DETAIL BUKU
Penulis : Azzura Dayana
Tahun : 2019
Genre : Novel Fiksi
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Cover : Softcover
Tebal : 288 halaman
Cetakan : Original
Harga : Rp 50.000,- (Juni 2020 – Onlineshop)
Keterangan : Cover Cetakan I, September 2019
REVIEW
Assalamu’alaikum...
Salam lestari!
Masih tentang novel seri Altitude, kali ini saya akan mereview novel terbaru dari penulis wanita yang gemar traveling bernama Azzura Dayana. Novel Altitude 3159 – Miquelii terbit September 2019 dan berhasil meraih penghargaan Islamic Book Award 2020 sebagai Nominasi Buku Islam Terbaik Kategori Fiksi Dewasa di event tahunan Islamic Book Fair.
Dua seri Altitude sebelumnya yaitu Altitude 3676 – Takhta Mahameru dan Rengganis – Altitude 3088 sudah saya bahas di postingan sebelumnya. Silakan dibaca juga ya.
Novel Altitude 3159 – Miquelii menceritakan kisah pendakian yang mengambil latar Gunung Dempo, gunung tertinggi kedua di Pulau Sumatera yang memiliki ketinggian 3159 MDPL. Kisah di novel ini adalah tentang perjuangan Fathan, seorang pria mapan dan sukses, untuk mengejar cintanya pada seorang gadis rimba bernama Hilda. Kehidupan, hobi dan selera yang jauh bertolak belakang menjadi benteng yang harus Fathan runtuhkan untuk meluluhkan hati teman masa kecilnya itu.
Terbiasa dengan kehidupan elit di Eropa membuat Fathan menilai kegiatan alam adalah kegiatan yang sama sekali tidak menyenangkan. Berbeda dengan gadis pujaannya, Hilda, seorang petualang tangguh yang sangat mencintai alam dan kerap naik turun gunung. Demi mengejar cinta itulah Fathan rela menjalani sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, yaitu mendaki gunung.
Rencana pendakian bermula ketika akhirnya Fathan berhasil menemui Hilda di kota Pagar Alam, kota-musim-dinginnya Sumatera Selatan. Bersama beberapa teman lainnya, mereka mendaki Gunung Dempo dari jalur Rimau. Seperti biasa, penulis sukses menceritakan detail jalur pendakian, sehingga kita bisa membayangkan bagaimana rupa trek Dempo yang cukup menggetarkan itu. Salah satu trek yang menarik adalah empat tanjakan Gunung Dempo yang mengingatkan saya pada trek Tanjakan Setan sewaktu mendaki Gunung Gede pada September 2019 lalu.
Di bab-bab awal saya membaca buku ini sejujurnya saya merasa agak sedikit bosan. Menurut saya pengantar mengenai kehidupan masa kecil Fathan dan Hilda dituturkan dengan kisah dan cara yang kurang menarik. Begitu pun dengan perjalanan Fathan mencari Hilda ke Kawah Putih Ciwidey di kawasan Gunung Patuha dan pencarian di Istana Pagaruyung di Kota Padang tidak terlalu meninggalkan kesan yang berarti. Namun begitu, novel ini mulai sangat menarik dan menghibur ketika Fathan akhirnya tiba di Pagar Alam si Kota Bunga.
Selain membahas mengenai dunia pendakian, novel ini membahas sedikit mengenai manfaat kopi yang ternyata bisa digunakan untuk terapi pecandu narkoba. Hmm, cukup menarik karena hal ini tidak pernah saya dengar sebelumnya. Sebagai orang yang bukan penikmat kopi, saya juga jadi tahu perbedaan kopi arabika dan robusta karena membaca novel ini.
Di novel ini diselipkan pula ilmu, misteri dan mitos yang biasa dialami oleh para pendaki. Misalnya, tentang larangan meneriakkan nama di gunung, kejadian ghaib ketika pendaki mendengar ada suara orang namun tidak ada rupanya, tips-tips pendaki pemula atau tentang perempuan yang sedang haid/datang bulan yang mendaki gunung. Lumayan menambah informasi jika suatu saat bisa mendaki gunung lagi. Hehe.
Dari sisi moral, saya belajar mengenai sikap besar hati dan kesetiaan seorang sahabat dari Rifhan, asisten kepercayaan Fathan di kantornya yang mendampinginya menjalani pendakian pertamanya itu. Sifatnya yang lucu dan humoris seringkali membuat saya senyum dan tertawa di beberapa adegan. Namun selain humoris, Rifhan juga sosok yang sangat loyal dan perhatian.
Selain itu, mungkin saya juga termasuk pembaca yang ngefans dengan tokoh bernama Lukman, si ketua pendakian yang merupakan dokter dan teman Fathan maupun Hilda saat SMA. Jiwa kepemimpinan yang selalu dia tunjukkan, juga penggambaran tokoh sebagai dokter muda yang cerdas sekaligus seorang pendaki tangguh, membuat saya membayangkan sosoknya dan mungkin akan klepek-klepek kalau benar-benar bertemu di dunia nyata. Haha.
Dari sisi romantisnya, tentu saya akan berharap diperjuangkan begitu keras seperti Fathan memperjuangkan Hilda. Seorang laki-laki jika memang serius pada seorang perempuan, semestinya menunjukkan sikapnya dengan perbuatan nyata, bukan hanya dengan kata-kata gombal atau kode-kode keras yang ujung-ujungnya malah seperti main tebak-tebakan (eh curcol, hihi). Dan kisah klise yang sering terjadi pada banyak orang rupanya juga dialami Hilda, yang ternyata memendam perasaan bertahun-tahun kepada sahabat kecilnya. Beruntungnya ending dari kisah ini cukup membahagiakan.
Secara umum saya sangat menyukai novel ini. Cara penuturannya tidak berbeda jauh dengan seri pertamanya yaitu Altitude 3676 – Takhta Mahameru. Ada unsur budaya, cinta, persahabatan dan tentu saja kegiatan alam yang sangat layak dijadikan bahan bacaan. Salah satu novel mengenai pendakian yang saya rekomendasikan.
Demikian review saya
tentang novel Altitude 3159 – Miquelii. Semoga setelah imagination trip ke Gunung Dempo ini saya bisa segera melakukan real trip ke tempat-tempat yang sangat
ingin saya kunjungi seperti Dieng, Gunung Bromo, Gunung Papandayan, Belitung, dll.
Aamiin. Sampai
ketemu di review selanjutnya. Wassallam, dan salam
lestari!.
KUTIPAN
Gunung Sumbing, gunung yang
menyapa sinar matahari terlebih dahulu setiap pagi di bumi Jawa Tengah.
(Hal. 6)
Gunung Prau, salah satu
surga di alam Indonesia. A must visit
once in a lifetime.
(Hal. 11)
Berhentilah menjadi lelaki
bergengsi. Turunlah ke alam. Jelajahi dunia yang tak mudah.
(Hal. 19)
Tidak setiap pasangan harus
memiliki kesamaan hobi dan gaya hidup, bukan?
Tapi terlalu berbeda juga
tidak baik, akan menciptakan kesenjangan yang terlalu besar.
(Hal. 82)
Keelokan yang terlalu
sering kita tatapi lambat laun akan kita cintai, terlupakanlah sesuatu yang tak
kalah rupawan karena terlalu lama tak dijumpai.
(Hal. 93)
Naik gunung tidak
mempercepat mati. Tidak naik gunung juga bukan berarti memperlambat mati. Semua
kematian itu berdasarkan catatan ajal.
(Hal. 123)
Kerinci, gunung berapi
tertinggi di Indonesia.
(Hal. 129)
Mengatasi, mengukur dan
menakar risiko dengan cermat adalah cara selamat, sembari tetap menjalani hidup
dengan nikmat.
(Hal. 171)
Vaccinium varingiaefolium, alias centigi. Vaccinium Miquelli, alias Kayu Panjang Umur (KPU), tambuhan yang hanya ada di Gunung Dempo. Lambang keindahan dan kekuatan hidup.
(Hal. 203-204)
Izinkan aku menjadi imammu,
supaya aku bisa merangkulmu dengan leluasa, supaya bisa kukurangi bebanmu.
(Hal. 263)
Seseorang yang hebat bukan
berarti tidak bisa dan tidak boleh menangis.
(Hal. 266)
Hebat itu bukan cita-cita.
Hebat itu perasaan. Tapi orang lain yang merasakannya. Kalau kamu merasa hebat,
belum tentu sebenarnya kamu hebat. Mungkin kamu hanya terlalu jemawa. Tapi
kalau orang-orang merasa kamu hebat, itu benar-benar karena kamu hebat.
(Hal. 266)
Kemana saja kamu selama ini
Fathan? Tiba-tiba kamu datang setelah melewatkan begitu banyak hal, melupakan
begitu banyak janji, dan tidak memedulikan betapa panjang waktu yang
tersia-sia?
(Hal. 268-269)
Pendakian ini benar-benar
menyadarkanku, tentang berbagai kesalahan dan kesombonganku, tentang betapa
kecilnya manusia di hadapan Pencipta, tentang bukan siapa-siapanya kita ini,
tentang dunia yang luas dan sebenar-benarnya tempat belajar, tentang betapa
luar biasa alam-Nya yang baru sekali ini kupahami.
(Hal. 269)
Kenyataannya, horor itu
memang cukup dengat dengan kehidupan pendaki. Itulah kenapa, iman kita harus
kuat, harus kita jaga baik-baik.
(Hal. 286)
Perjalanan paling bermakna
yang membawanya pada kesadaran sejati, kesyukuran dan muara cinta.
Komentar
Posting Komentar