Summit Attack Gunung Gede via Cibodas



Day 1 - Berkemah


Perjalanan kami memang terasa cukup lambat. Sejak siang sampai malam kami belum sampai di pos berkemah sama sekali. Hal ini karena salah satu teman yang perempuan mengalami cedera pada kaki dan sering kram, sehingga mau tidak mau kami harus sering berhenti. Satu berhenti, yang lain berhenti. Itulah prinsipnya sehingga kami terus bersama-sama selama pendakian.

Dalam perjalanan yang semakin menuju ke ketinggian, udara semakin dingin. Bahkan kami mulai merasa perih pada hidung karena udara yang semakin tipis, ditambah napas yang semakin ngos-ngosan. Untuk mengatasinya seorang teman menyarankan menggunakan koyo yang digunting kecil, lalu ditempelkan pada hidung. Tujuannya supaya menghangatkan udara yang masuk ke hidung. Ternyata hal ini cukup membantu.

Lanjut ke perjalanan. Sekitar jam 9 malam kami sampai di Pos Kandang Batu. Sebelumnya kami berunding apakah akan terus berjalan ke Pos Kandang Badak, atau berkemah di pos ini. Berhubung posisi pos ini masih sangat jauh dari puncak, jika kami berkemah disini maka untuk menuju summit kami harus berangkat pagi-pagi buta. Tapi untuk langsung meneruskan perjalanan pun rasanya sudah sangat berat, semuanya sudah kelelahan. Belum lagi dari pendaki-pendaki yang baru turun mengatakan bahwa di Kandang Badak sudah penuh dengan tenda-tenda pendaki lain yang sudah lebih dulu naik. Akhirnya kami pun memutuskan untuk mendirikan tenda di pos ini.

Begitu sampai kami langsung membongkar bawaan dan membagi tugas. Para laki-laki mendirikan tenda, sedangkan yang perempuan memasak air panas untuk membuat kopi, teh, jahe susu, dll untuk menghangatkan badan. Aku ingat betul waktu itu musim kemarau sehingga udara benar-benar dingin di malam hari. Ditambah tubuh kami yang basah karena keringat, udara dingin semakin membekukan tubuh.

Setelah tenda berdiri aku dan teman perempuanku pergi ke sungai kecil yang letaknya tidak jauh dari perkemahan, dengan ditemani 1 laki-laki. Kami membersihkan tubuh dan menyelesaikan hajat buang air di sungai itu. Aliran airnya panas, namun cenderung hangat di sisi sungai. Di situ juga kami sekalian mengambil wudhu untuk menjalankan sholat di tenda.

Sekitar dua jam kami menyelesaikan berbagai keperluan, mulai dari ganti pakaian, sholat, masak hingga makan. Seingatku waktu itu kami hanya makan mie instan karena sudah kelelahan untuk memasak makanan lain. Selepas makan kami tidur di tenda masing-masing. Ada 3 tenda yang kami buat, dengan kapasitas 4 – 2 – 2 orang. Kami berencana berangkat sekitar jam 3 atau setengah 4 keesokan harinya untuk summit.

Kondisi malam itu DINGIN BANGET sehingga untuk tidurpun rasanya tidak nyenyak. Aku dan teman perempuanku menggigil berdua di dalam tenda kami. Walaupun sudah memakai pakaian kering, jaket 2 lapis, penutup kepala, kaos kaki, sarung tangan dan sleeping bag, rasanya udara dingin menembus tenda dari segala arah, bahkan dari bawah, dan menyusup masuk menyentuh kulit. Bahkan dalam tidur, aku bermimpi minta SB tambahan saking dinginnya. Haha.

Lalu kejadian lucu terjadi jam 3 pagi. Waktu itu aku dan temanku terbangun, kami membuka tenda hendak membangunkan yang lain. Ingat kan sebelumnya kami berencana bangun jam 3 pagi? Aku berteriak membangunkan teman-teman yang lain sambil bilang, “Bangun gaes, udah jam 3”. Tapi tidak ada satupun teman laki-laki yang bangun. Ternyata oh ternyata, jam tanganku, entah bagaimana, tersetting 1 jam lebih awal. Jadi aku berteriak-teriak membangunkan mereka jam 2 pagi. Haha.

Baru satu jam kemudian semuanya terbangun. Kami bersiap untuk summit attack dengan membawa sedikit perlengkapan yang dibutuhkan saja selama perjalanan. Sedangkan barang-barang besar kami tinggal di dalam tenda. Waktu itu seorang teman laki-laki hampir tidak mau ikut summit karena merasa kelelahan dan kedinginan. Tapi kami membujuk dia untuk tetap ikut, karena akan lebih bahaya kalau meninggalkan satu orang di dalam tenda. Taruhannya nyawa kalau sampai dia hipotermia sendirian.

Day 2 - Summit Attack


Akhirnya setengah 4 pagi kami memulai perjalanan lagi. Kali ini perjalanan lebih ringan karena kami tidak membawa beban berat. Sekitar satu jam kemudian kami sampai di Pos Kandang Badak. Disini memang sudah sangat penuh, jadi kalaupun semalam kami memaksa untuk terus naik resikonya tidak dapat tempat untuk mendirikan tenda. Ketika kami mulai bergerak lagi dari pos ini adzan Shubuh berbunyi dari handphone, tapi kami terus melanjutkan perajalanan. Di atas Pos Kandang Badak inilah ada percabangan 2 jalur, dimana jalur lurus menuju Puncak Gede, dan jalur ke kanan menuju Puncak Pangrango.

Track berikutnya mulai di dominasi akar-akar pohon yang mencuat di sepanjang jalan, jadi perlu hati-hati supaya tidak tersandung. Di tengah perjalanan ini kami sholat Shubuh berjamaah dengan cara tayamum. Hal ini karena ketika sudah di atas tidak ada mata air yang kami temui, selain persediaan air yang kami bawa terbatas untuk minum saja. Saat itu kondisi sudah lumayan siang, jam 5 lebih, sudah mulai terang. Jadi kami pun menyimpulkan bahwa kami sudah terlambat untuk bisa melihat sunrise di puncak. Sedih sebenarnya, tapi ya mau bagaimana lagi L


Satu jam kemudian kami sampai di persimpangan lagi. Jika mengambil jalur kanan kita akan melewati tanjakan khas Gunung Gede bernama Tanjakan Setan atau Tanjakan Rante. Sedangkan jika lewat jalur kiri akan lewat jalur alternatif dimana medannya seperti sebelum-sebelumnya, namun akan lebih memakan waktu karna jalurnya memutar dan lebih jauh. Tanjakan Setan itu memiliki kemiringan 80 derajat, hampir seperti tembok yang berdiri tegak. Disana disediakan tali-tali yang bisa digunakan untuk berpegangan.

Setelah melihat kondisi, teman perempuanku merasa tidak yakin untuk lewat jalur itu, sehingga dia dan 1 teman memutuskan untuk lewat jalur kiri. Sedangkan sisanya, termasuk aku, lewat Tanjakan Setan. Entah aku yang terlalu berani atau bagaimana, waktu itu aku merasa HARUS lewat jalur itu. Mumpung sudah disitu jadi aku harus merasakan sensasinya melewati jalur ekstrim itu. Oh iya selama pendakian aku menggunakan celana rok. Itu loh celana syar’i yang bagian depan dan belakangnya tertutup layer lagi sehingga tampak seperti rok. Mungkin agak tidak sinkron ya antara pakaian yang aku kenakan yang bisa dibilang syar’i itu dengan tingkahku yang kelewat berani. Wkwk.


Berjalan di Tanjakan Setan dengan menggunakan celana rok sebenarnya tidak terlalu susah. Hanya perlu kehati-hatian ekstra supaya tidak tergelincir dan supaya roknya tidak nyangkut-nyangkut ke tali. Tanjakan itu berupa tebing batu yang bergunduk-gunduk. Jadi lumayan banyak titik yang bisa digunakan untuk pijakan. Ketinggian tanjakan kurang lebih 10 meter (ngga pintar mengira-ngira). Dan di ujung tanjakan, ketika kita berbalik arah kita akan dihadapkan pada wajah penuh pepohonan Gunung Pangrango yang menjulang gagah. Gunung favoritnya Soe Hok Gie, dimana dia biasa menulis puisi disana. Terharu rasanya bisa sampai ke titik itu :’)




Setelah melewati Tanjakan Setan kami mulai berjalan lagi. Kami juga bertemu dengan sebagian teman yang melewati jalur alternatif tadi. Selepas tanjakan, jalur mulai didominasi batu-batu kecil. Tanaman yang menghiasi jalur adalah pohon-pohon kecil Centigi. Selanjutnya jalur semakin curam dan menanjak dengan struktur batu-batuan kecil dan tanah yang kering dan berdebu. Kami beberapa kali berhenti. Istirahat sambil ngobrol di tengah jalur pendakian memang asyik.


Kawanku sempet bilang bahwa aku kuat dan mandiri banget selama pendakian, ngga ngeluh dan manja sedikitpun. Tapi tiba-tiba di titik ini aku yang sedari kemarin tidak pernah mengeluh pun mulai mengeluarkan kata-kata keluhan. “Kok ngga nyampe-nyampe si?”, sambil merengut, haha. Alasannya karena di titik ini kami banyak bertemu pendaki-pendaki yang baru turun selepas melihat sunrise, dan mereka bilang, “Semangat mba, puncak sepuluh menit lagi!”. Kata-kata penyemangat yang malah bikin aku semakin down karena kenyataannya tidak seperti yang pendaki itu bilang. Nyatanya sudah berpuluh-puluh menit, puncak belum nampak juga. Ingin ku memaki rasanya. Haha.


Oh iya di titik setelah Tanjakan Setan itu juga kami ber-8 mulai berpencar. Artinya tidak berjalan bersama-sama lagi. Hal ini karena kecepatan langkah dan kondisi tubuh yang berbeda-beda. Bagi teman yang masih sangat kuat mereka masih sanggup berjalan cepat. Tapi bagiku dan teman perempuanku satu lagi, langkah kami semakin pelan dan lemah. Jadi alon-alon asal kelakon, kalo peribahasa Jawanya. Hehe.

Untuk cerita selanjutnya :
Part 1 (Prolog & H-1 Pendakian)
Part 2 (Day 1 Perjalanan ke Cibodas & Mulai Pendakian)
Part 3 (Day 1 Berkemah & Day 2 Summit Attack)
Part 4 (Day 2 Puncak Gede, Alun Alun Surya Kencana & Perjalan Turun)
Part 5 (Day 3 Perjalanan Pulang & Epilog)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Latihan Soal E-Commerce BSI Pertemuan 1-6

14 Jenis Muamalah, Contoh dan Dalilnya