My First Summit, Mt. Gede 2.958 MDPL
Day 2 - Puncak Gede
Akhirnya sekitar jam 8 pagi kami sampai di pinggiran kawah
Gunung Gede. Rasanya legaaaaaa banget karena sudah berhasil sejauh itu dan
puncak sudah mulai terlihat. Walaupun kecewa karna belum bisa menyaksikan sunrise di puncak gunung, tapi
pencapaian seperti ini pun sudah jadi pengalaman berharga di hidupku. Kami yang
belum sempat sarapan membeli beberapa potong gorengan dan semangka di
warung-warung kecil yang banyak buka disitu. Jangan tanya harganya ya, yang
jelas MAHAL! Wkwk. Tapi wajar lah karena untuk membawa barang dagangan itu ke
puncak juga butuh banyak perjuangan.
Sambil menunggu beberapa teman yang tertinggal di belakang,
kami duduk-duduk di pinggir kawah. Kami berfoto mengabadikan momen bersejarah hari
itu. Ahad, 1 September 2019 bertepatan dengan tahun baru Islam, 1 Muharam 1441
H. Artinya, semalam ketika kami camping di Kandang Batu itu adalah malam
1 Suro yang katanya malam sakral. Aku juga baru sadar hal itu besoknya setelah
pulang muncak. Dan alhamdulillah tidak terjadi hal mistis apapun selama
pendakian. Allah selalu melindungi kami.
Setelah istirahat sebentar kami mulai berjalan lagi menuju
puncak Gede. Jaraknya hanya beberapa ratus meter lagi. Struktur jalan adalah
kerikil-kerikil kecil dan berpasir yang tersebar di jalan selebar kurang lebih
dua meter itu. Pada sisi kiri adalah kawah, sedangkan sisi kanan juga nampak
seperti jurang dengan tanaman-tamanan kecil yang tumbuh di setiap sisi tebing. Sepanjang
berjalan ke puncak dari sisi belakang
kita bisa melihat Gunung Pangrango lagi dengan lebih jelas, seperti sejajar
dengan tubuh kita. Sejauh mata memandang tampak panorama alam yang memukau. Menciptakan
rasa syukur berkali-kali lipat atas anugerah Allah di bumi yang indah ini.
Setelah berjalan kurang lebih setengah jam kami sampai di
Puncak Gede 2.958 MDPL. Sungguh terharu rasanya karena akhirnya mimpiku untuk
menjejakkan kaki di salah satu puncak gunung bisa tercapai. Mimpi yang tertunda
sejak aku ingin ikut pecinta alam ketika SMK, tertunda lagi saat kuliah karena
tidak pernah dapet restu, dan akhirnya sekarang bisa terwujud.
Kondisi Puncak Gede sekitar jam 9 pagi sudah sangat ramai
seperti pasar. Bahkan untuk bisa berfoto dengan tugu Puncak Gede pun harus
antri dengan pendaki-pendaki lain. Hal ini wajar si karena Gunung Gede termasuk
gunung untuk pemula yang letaknya tidak jauh dari Jakarta. Apalagi saat
weekend, tentu banyak pendaki yang datang. Oh iya untuk ke Gunung Gede
sebenarnya ada 3 jalur ya, yaitu jalur Cibodas, jalur Putri dan jalur
Selabintana. Dan di titik ini lah semua pendaki dari 3 jalur bertemu, makanya
wajar kalau rame kaya pasar. Haha.
Day 2 - Alun Alun Surya Kencana
Setelah selesai berfoto bersama di tugu Puncak Gede, kami
berunding apakah akan ke Alun Alun Surya Kencana atau tidak. Alun Alun Surya
Kencana adalah area luas yang berada di bawah Puncak Gede yang banyak ditumbuhi
bunga edelweiss, bunga khas yang hanya tumbuh di area pegunungan. Tempat itu
akan dilalui jika naik via jalur Putri atau Selabintana, namun karena kami naik
via Cibodas maka tidak melalui tempat itu kecuali sengaja turun kesana, lalu
nanti harus naik lagi ke Puncak Gede kalau mau pulang lewat Cibodas lagi.
2 orang dari kami memutuskan tidak ikut ke Surken karena
kondisi teman perempuanku yang semakin lelah karena masih terasa efek cedera di
kakinya. Maka hanya 6 orang yang turun ke Surken. Di perjalanan menuju Surken
ini juga ramai pendaki, baik yang baru mau naik atau yang mau turun. Perjalanan
kurang lebih setengah jam sampai akhirnya kami tiba di Surken. Untuk tracknya
berupa jalur yang lumayan curam dengan struktur tanah yang mirip seperti ketika
mendaki ke Puncak Gede tadi (pas aku mulai ngeluh itu loh, haha).
Di Surken ramai tenda-tenda dari para pendaki yang ngcamp
disitu. Aku tidak bisa membayangkan betapa dinginnya ngcamp di area terbuka
seperti itu, apalagi sudah sangat dekat dengan puncak. Sedangkan ngcamp di Kandang
Batu saja sudah semenggigil itu. Haha. Sebelum turun melihat edelweiss kami
mampir ke warung yang ada di situ, makan perbekalan dan minum. Sayangnya aku
tidak mencicipi nasi yang katanya khas dijual disitu.
Momen yang paling menyenangkan ketika di Surken adalah
ketika ada satu rombongan membuat kebisingan dengan menyoraki sesuatu, entah
apa, lalu tiba-tiba semua pendaki yang ada di area Surken menyahut dan ikut
bersorak. Sungguh itu menyenangkan banget. Rasanya semua merasakan kebahagiaan,
kebersamaan, kehangatan walaupun tidak mengenal satu sama lain. Bahkan sekarang,
ketika aku mengingatnya lagi, aku bisa tersenyum. Jadi kangen pengen ke Surken
lagi. Hehe.
Kami lalu menuju ke pinggiran Surken untuk melihat edelweiss
dan mengabadikan momen. Kembali rasa syukur itu menyeruak di dada. Pengalaman yang
sangat luar biasa buatku bisa berdiri di tempat itu, main sejauh itu. Bunga edelweiss
menjadi obyek yang ingin ku lihat lagi suatu hari, di tempat yang berbeda, di
gunung yang berbeda. Semoga ini bukan pendakian pertama dan terakhir buatku. Aamiin.
Menjelang Dhuhur kami kembali naik ke Puncak Gede lewat
jalur yang sama yang kami gunakan untuk turun tadi. Di titik ini kami sudah
sangat lelah sebenarnya. Dari 6 orang yang turun ke Surken, 2 sudah lebih dulu naik. Sedangkan
kami ber-4 menyusul di belakang dengan berjalan perlahan. Bayangkan kami harus
naik lagi lewat jalur yang curam itu. Yang terus menanjak dan tidak ada tempat
landainya.
Sepanjang jalan kami menemukan beberapa pendaki yang memejam
mata sambil terduduk di sisi jalan. Dari ber-4, aku dan seorang teman berada di
depan, sedangkan Kawanku dan 1 teman tertinggal di belakang. Sambil menunggu 2
orang itu aku beberapa kali duduk dan istirahat. Bahkan ada momen dimana aku
ikut duduk memejam mata sambil bersender pada tanah, kemudian tertidur. Benar-benar
tertidur walaupun hanya sebentar, haha. Dan itu adalah kenikmatan luar biasa
ketika bisa tidur di tengah-tengah jalur pendakian.
Day 2 - Perjalanan Turun
Sekitar jam 12 kami sudah sampai lagi di Puncak Gede. Kami istirahat
sebentar dan membeli air mineral karena perbekalan kami habis. Lalu kami
langsung menuju ke Kandang Batu lagi, tempat kami camping. Di tengah perjalanan
kami mampir di Pos Kandang Badak untuk pergi ke toilet. Di Kandang Badak memang
tersedia toilet, tapi terbatas hanya ada 2. Bahkan disana juga ada mushola. Aku
pikir mumpung ketemu toilet jadi aku minta mampir walaupun harus antri, karena
sebagai perempuan kalau mau ke toilet siang-siang bakal susah karena takut
keliatan. Hehe. Oh iya ketika turun kami tidak melewati Tanjakan Setan lagi,
tapi lewat jalur alternatif mengingat perjalanan turun lebih susah jika harus
lewat Tanjakan Setan.
Ketika sudah dekat dengan Pos Kandang Batu kita akan menemukan
air terjun kecil bernama Air Terjun Panca Weuleuh di sisi kanan kalau dari arah
puncak. Disitu aku berhenti sejenak untuk mengambil wudhu karena belum sholat
Dhuhur. Airnya dingin bangettt, tapi juga menyegarkan. Tak berapa lama akhirnya
kami sampai di tenda. Segera aku langsung sholat Dhuhur, sebelum batal. Hehe. Ketika
kami tiba di tenda, 2 teman yang tadi naik duluan dari Surken sudah sampai
sejak tadi dan sedang mulai memasak. Mereka menggoreng nugget, ayam, lalu
memasak mie instan dan nasi. Sayangnya memasak nasi menggunakan nesting memang
susah ya, alhasil nasinya ngga mateng. Haha.
Selesai bersantap siang kami berkemas bersiap untuk turun. Tidak
lupa membersihkan sekitar area tenda, memastikan tidak ada sampah yang
tertinggal. Ketika hendak berjalan turun, adzan Ashar berkumandang dari
handphone. Akhirnya kami menurunkan lagi tas kami dan sholat berjamaah sebelum
perjalanan turun. Ketika hendak turun itulah kami bertemu beberapa rombongan,
sehingga perjalanan turun lebih ramai.
Perjalanan yang kami lalui ketika turun sama persis dengan
jalur ketika mendaki. Momen yang paling aku ingat adalah ketika kami melewati
aliran air panas. Sekali lagi kami harus melewati jalur itu ketika malam. Karena saat
itu kami beramai-ramai, rasanya menjadi lebih aman. Apalagi rombongan lain yang
berjalan dengan kami terlihat lebih senior dan berpengalaman. Sebelum melalui
jalur tersebut, dari masing-masing ujung jalur aliran air panas itu ada orang
yang berteriak memberikan aba-aba. Tujuannya supaya dari dua sisi bisa
bergantian lewat, sehingga tidak berpapasan di tengah jalan yang bisa beresiko
menyulitkan medan karena sempit.
Lalu momen lainnya adalah ketika kami turun, kami beberapa
kali bertemu tim penyelamat yang sedang menandu seorang laki-laki. Rupanya
orang itu cedera berat sampai tidak bisa berjalan sama sekali sehingga harus
ditandu untuk bisa turun gunung. Luar biasa sekali tim penyelamat itu. Meskipun
kondisi sudah gelap, mereka harus membawa beban laki-laki yang lumayan gempal
pada medan yang sulit, mereka tidak terlihat mengeluh sedikit pun. Bahkan ketika
kami bergantian menyalip mereka mencandai kami, memberikan semangat, memberikan
pesan-pesan keamanan, bahkan memijat kaki teman perempuan kami yang cedera
kemarin itu. Salut banget!
Di tengah-tengah perjalanan kami terpisah dengan rombongan
yang sebelumnya bersama kami tadi. Mereka tertinggal di belakang. Jadilah kami
berjalan ber-8 lagi seperti sebelumya. Saat itu sebenarnya beban carrier kami
sudah semakin berkurang karena logistik sudah dipakai, tapi karena sudah
kelelahan, ketika mereka yang membawa carrier selesai istirahat dengan duduk di
tanah dan hendak berdiri lagi, beban carrier terasa sangat berat sehingga harus
dibantu diangkat dari belakang. Saling membantu itu sangat penting ketika di
kondisi seperti itu.
Perjalanan turun yang kami estimasikan lebih singkat
dibanding perjalanan naik juga nyatanya tidak begitu. Kami sering istirahat,
duduk di tanah, bahkan beberapa kali tiduran di atas ransel kami sambil
memandang langit. Syahdu sekali rasanya. Hehe. Apalagi suasana hutan di tengah
malam sangat sunyi, suara alam terdengar jelas di sekeliling kami. Aku juga
ingat ada satu momen ketika kami sampai di sebuah shelter atau pos, lupa
tepatnya dimana, kami istirahat lagi. Disitu aku tertidur beberapa menit. Nikmat
banget sungguh. Haha. Ketika sampai di jembatan Rawa Gayonggong kami disalip
rombongan lain untuk kesekian kalinya. Ya wajar kami sering berhenti jadi
sering disalip.
Oh iya ada momen yang juga masih aku ingat banget saat
perjalanan turun itu. Waktu itu kami sedang berjalan biasa. Aku dan Kawanku
berjalan paling belakang memastikan tidak ada yang tertinggal. Saat itu aku
tidak mengenakan sarung tangan yang biasanya selalu aku pakai. Saat aku
mengusap bagian belakang rokku, aku kaget karena ada sesuatu yang menusuk
jariku. Ketika aku melihat jariku ternyata ada bulu-bulu panjang mirip jarum
yang menempel cukup banyak. Ketika dilihat di rok, ternyata ada ulat bulu BESAR
menempel disana, dan aku baru saja menyentuhnya.
Sontak aku kaget karena itu rasanya sakit banget, seperti
ratusan jarum menusuk-nusuk jari. Untuk menghilangkannya aku menarik bulu itu
satu persatu. Bayanganku adalah nanti tanganku akan bengkak besar dan
gatal-gatal karena efek bulu itu. Setelah bulu-bulu panjang berhasil aku ambil
satu persatu, aku mengusap-usap jariku di tanah yang berdebu untuk
menghilangkan sisa-sisa bulu yang kecil-kecil. Alhamdulillah setelah bulu-bulu
itu hilang tidak ada efek gatal apapun yang aku rasakan.
Untuk cerita selanjutnya :
Part 1 (Prolog & H-1 Pendakian)
Part 2 (Day 1 Perjalanan ke Cibodas & Mulai Pendakian)
Part 3 (Day 1 Berkemah & Day 2 Summit Attack)
Part 4 (Day 2 Puncak Gede, Alun Alun Surya Kencana & Perjalan Turun)
Part 5 (Day 3 Perjalanan Pulang & Epilog)
Komentar
Posting Komentar